Pesawat udara Air Asia
nomor penerbangan QZ8501 jurusan Surabaya – Singapura telah resmi dinyatakan
mengalami kecelakaan setelah puing-puing dan jenazah korban ditemukan pada
Rabu, 31 Desember 2014. Tanpa mengurangi rasa hormat dan simpati saya kepada keluarga
korban, mari kita mengambil pelajaran dari peristiwa kecelakaan tersebut.
Pertama: tentang kematian
yang pasti
Saudaraku, dari peristiwa
kecelakaan Air Asia ini mengingatkan kita tentang kepastian kematian. Yaitu,
bahwa kematian telah Allah tentukan waktu dan tempatnya. Tak ada seorang pun
yang dapat berlari darinya. Dan tak ada seorang pun tahu di negeri mana ia akan
mati.
Jika sekali waktu Anda
membaca berita, “maskapai X masuk dalam daftar 10 penerbangan paling aman di
dunia!”, maka — hemat saya — penerbangan tersebut sesungguhnya tidak
benar-benar aman dari kematian. Bukankah Allah SWT berfirman,
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Artinya “Di mana pun kamu berada, kematian akan
mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan
kokoh…” (QS An-Nisa : 78)
Mari mengambil pelajaran
dari peristiwa kecelakaan ini. Bahwa kematian adalah pasti dan Rasulullah SAW
menggambarkan tentang beratnya detik-detik menjelang kematian.
Diriwayatkan dari Syahr bin Husyab dia berkata, Rasulullah saw ditanya
tentang beratnya kematian. Rasulullah SAW menjawab, “kematian yang paling
ringan adalah seperti bulu wol yang tercerabut dari kulit domba. Apakah mungkin
kulit dapat keluar kecuali bersama bulu-bulunya itu?”
Kedua: tentang awan
Meskipun Badan Nasional
Keselamatan Transportasi (BNKT) belum memberikan keterangan apapun tentang
sebab-sebab kecelakaan, media massa ramai memberitakan bahwa awan adalah
(dugaan) penyebab kecelakaan Air Asia dimaksud. Saya tidak ingin membahas
tentang sebab kecelakaan itu, namun lebih tertarik untuk mendiskusikan awan
dalam perspektif Al-Quran.
Ada banyak ayat dalam
Al-Quran yang membahas tentang awan. Salah satunya QS An-Nur: 43
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ
رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ
مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ
مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ
Artinya: “Tidakkah
kamu melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan lalu
mengumpulkannya, kemudian Allah menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau
lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan
(butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari gunung-gunung tinggi, maka
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dihindarkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilatnya hampir-hampir
menghilangkan penglihatan”. Ayat ini sangat jelas membahas tentang
kandungan awan dan potensi yang dimilikinya. Para ahli mengatakan awan ini
sebagai awan Cumulonimbus.
Selain soal awan, pemahaman
tentang cuaca secara umum dalam penerbangan memang sangat urgen. Kita tahu,
cuaca berubah setiap saat, terutama di bulan Desember dan Januari ini. Angin
adalah agen perubahan cuaca yang sangat dahsyat. Dalam ayat lain, Allah SWT
berfirman,
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا
“Dan, telah kami turunkan
dari angin, air yang banyak tercurah.” (QS An-Naba:14) Pada
ayat ini, Allah SWT menyebutkan bahwa anginlah yang mengantarkan hujan.
Sekilas, kita mendapati ayat ini biasa saja. Tetapi, bila kita telaah,
sesungguhnya angin yang menjadi katalisator pembentukan hujan. Singkatnya
begini, di atas permukaan laut dan samudra, terjadi gelembung udara yang tak
terhitung jumlahnya yang terbentuk akibat buih. Pada saat gelembung-gelembung
ini pecah, jutaan partikel kecil dengan diameter seperseratus milimeter
terlempar ke udara. Partikel ini dikenal dengan aerosol bercampur dengan debu
daratan yang terbawa oleh angin, dan selanjutnya terbawa ke lapisan atas
atmosfer bumi. Partikel-partikel tersebut dibawa ke atas oleh angin dan berubah
menjadi butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini lalu terkumpul membentuk
awan dan kemudian jatuh ke bumi dalam bentuk hujan.
Karena itu pula, wajib dan
mutlak diperlukan dalam dunia penerbangan pemahaman tentang cuaca sebagai
syarat penerbangan yang aman.
Ketiga: Tentang manfaat
besi
Kecelakaan Air Asia ini
juga membuka mata kita, umat Islam, untuk lebih menguasai teknologi, terutama
teknologi dirgantara. Pesawat udara sering kita dengar dengan sebutan “burung
besi.” Dan, kita bersyukur bahwa salah satu ahli yang kita miliki dalam
teknologi burung besi adalah Profesor BJ Habibie. Namun, tentu satu BJ Habibie
tak cukup. Kita perlu para ahli lain yang mampu mengantarkan bangsa ini pada
kemajuan teknologi dirgantara.
Al-Quran dengan tegas
mengisyaratkan tentang besi dan bagaimana kita — umat manusia — diminta mampu
mengoptimalkan besi. Dalam Al-Quran, bahkan, besi menjadi satu surah sendiri:
surah al-hadid atau surah (tentang) besi. Besi adalah bahan dasar utama
pembuatan pesawat terbang, dan — karena itu — mutlak wajib dikuasai oleh negara
pengolahan dan penjualan besi di negeri ini. Syukurlah kini telah ada aturan
(UU Minerba) yang mewajibkan ekspor biji besi (iron ore) setelah dilakukan
purifikasi lewat cara smelter, dan dengan demikian kekayaan alam kita tidak
beralih ke luar negeri secara semena-mena.
Kembali ke Al-Quran, surah
al-Hadid ini sejak awal mendiskusikan kekuasaan Allah SWT, kewajiban manusia
untuk percaya pada qadha dan qadar-Nya serta berlaku adil dalam menegakkan
kebenaran.
Secara khusus, Allah SWT
berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ
Artinya: “Sungguh, Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan
bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan
Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi
manusia…” (QS: Al-Hadid 25)
Para ahli tafsir generasi
awal, agak kesulitan menafsirkan kata “telah kami turunkan besi” pada ayat ini.
Sebab, “nazala” tidak punya makna lain kecuali “turun”. Sementara, manusia
mengambil biji besi (iron ore) dari perut bumi, bagaimana mungkin ia
“diturunkan”. Dalam tafsir Jalalain, misalnya, disebutkan “sungguh telah kami
kirim utusan kami (malaikat) kepada para nabi dengan dalil-dalil yang tegas.
Dan telah kami turunkan kepada mereka al-Kitab (wahyu) dan kami ciptakan atau
kami sediakan bagi manusia besi.” Terlihat sekali, penulis tafsir
Jalalain menghindari penafsiran “kami turunkan” besi dengan menggantinya
menjadi “kami ciptakan”. Penafsiran yang mirip dianut oleh Imam As-Suyuthi,
ar-Razi dan Ibn Katsir, termasuk terjemahan Departemen Agama. Hanya Ibn Abbas
yang mengatakan, “besi diturunkan sebagaimana Adam diturunkan dari surga.”
Sesungguhnya, (biji) besi
memang diturunkan Allah SWT ke muka bumi ini. Penemuan para ahli pada awal abad
ke-delapan belas membuktikan itu. Biji besi (iron ore) adalah “benda langit”
yang jatuh ke bumi lewat “hujan meteor”, entah berapa juta tahun silam. Apa
yang menarik dari ayat tentang besi ini? Allah SWT mengingatkan kepada kita
betapa pentingnya peran besi dalam peradaban manusia. Bahkan, turunnya besi
disandingkan dengan turunnya kitab suci. Untuk itu, umat Islam wajib
mempelajari besi sebagai bahan dasar pesawat terbang dan menguasai ilmu
dirgantara, setelahnya.
Keempat: tentang sidik jari
Kini, setelah jenazah
korban Air Asia ditemukan, kita sering mendengar istilah ante mortem dan post
mortem untuk memastikan identitas jenazah. Menurut para ahli, selain gigi dan
tes DNA, sidik jari adalah salah satu cara primer untuk memastikan identitas
seseorang. Sumber dokter di Kompas TV, (saya lupa namanya) menyebutkan
kemungkinan kesamaan sidik jari adalah satu dari dua miliar manusia. Namun,
para dokter akan mengalami kesulitan melakukan identifikasi sidik jari bila
mayat telah terendam di dalam air selama sekian hari.
Subhanallah, empat belas
abad yang lalu, Allah SWT telah berfirman,
“بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ”
Artinya: “Bukan demikian, sebenarnya “Kami kuasa menyusun
(kembali) jari jemarinya dengan sempurna"
Berabad-abad lamanya, para
ahli tafsir “bingung” menafsirkan ayat tersebut. Mengapa Allah SWT memberi
contoh kemampuan-Nya dengan mengembalikan ujung jari manusia pada hari kiamat
nanti? Bukankah ujung jari hanya contoh yang kecil. Karena itu, Imam Al-Qurtubi
bahkan hanya menafsirkan, “jika pada pengembalian jari saja mampu dilakukan,
maka demikianlah pada tulang-belulang.”
Penafsiran al-Qurtubi (dan
para ulama tafsir lainnya) itu tentu tidak memuaskan. Namun, setelah Jan
Evangelista Purkyně (1787–1869), seorang profesor anatomi dari Universitas
Breslau, Republik Ceko, menemukan sembilan formula sidik jari, penafsiran ayat
“sidik jari” ini menarik untuk dilakukan. Artinya, pada setiap manusia, sidik
jarinya berbeda, dan Al-Quran telah menegaskan itu, yaitu bahwa pada saat
kiamat nanti, ketika orang-orang kafir berkata, apakah mungkin Allah
mengembalikan manusia sementara telah menjadi tulang belulang. Al-Quran
menegaskan bahwa Allah bahkan mampu mengembalikan manusia kepada setiap sidik
jarinya. Allahu akbar!
Demikian catatan singkat
saya, semoga manfaat. Amin
Sardana
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/01/04/62156/empat-pelajaran-dari-kecelakaan-air-asia-qz8501/#ixzz3OOhmQq9P
Penulis: Inayatullah Hasyim
Penulis: Inayatullah Hasyim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar