Barangkali banyak juga orang senasib dengan saya yang tempat kerjanya jauh dari keluarga. Sepuluh tahun lebih bekerja di kota lain, 8,5 tahun di Jakarta dan 2 tahun di Purwakarta telah melakoni hidup sendiri berpisah dengan istri serta anak-anak. Istilah populernya bujang lokal.
Untuk menghilangkan rasa kangen ketemu keluarga yang hanya bisa sepekan sekali. Tentu malam-malam seusai jam kerja harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang santai namun bermanfaat. Sholat maghrib berjamaah di masjid Jabal Khairat yang berlokasi persis di belakang kantor, dilanjut dengan tilawah qur'an sampai sholat isya. Setelah itu barulah pulang ke rumah dinas yang memang lokasinya satu kompleks dengan kantor. Membaca ataupun searching info dari internet adalah teman pengantar sebelum mata ini terlelap tidur.
Namun malam itu ada sesuatu yang berbeda, tiba-tiba sepulang dari masjid pak Suwandi yang juga termasuk bujang lokal mengundang via sms/wa untuk datang ke rumah pak Miko.. sekali lagi diapun termasuk bujang lokal. Katanya mau adain pesta, was-was nih pesta apaan tuh. Maklum kan belum lama ini ada pilot salah satu maskapai yang ditangkap pihak berwajib saat pesta narkoba.
Lega dan gembira hati ini setiba di rumah pak Miko, rupanya yang akan digelar malam itu adalah pesta mendhoan. Pak Suwandi yang berasal dari Purwokerto itu membawa mendhoan. Do you know "mendhoan"?
Mendhoan adalah salah satu hidangan tradisionsl dialek Banyumas yang terbuat dari tempe yang digoreng tetapi tidak keras alias lembek. Karenanya dalam menggoreng mendhoan ini dibutuhkan banyak minyak panas serta teknik memasak yang cepat.
Untuk mensukseskan pesta malam itu, kami bertiga alias trio bujang lokal ini berbagi tugas, pak Miko mengolah adonan tepung dengan tempe, pak Suwandi bagian menggoreng cepat, dan tugas saya paling berat yaitu memastikan apakah mendhoan itu telah siap disajikan atau belum alias mencicipi.. he he he.
Sebelum berbagi rasa mendhoan yang telah siap saji, ternyata mendhoan memiliki filosofi yang maknyus. Mendhoan dalam bahasa jawa berkata dasar mendho yang berarti 'antara mendhak (ke bawah) dan mendhuwur (ke atas)' jadi posisi tanggung, tengah-tengah. Itu bisa dilihat dari cara masaknya, mendhoan dibalut dengan tepung digoreng tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Sebab kalau terlalu kering namanya jadi keripik tempe, kalau terlalu basah mungkin namanya lain lagi, bisa oncom atau nama lainnya.
Mendhoan ini mengisyaratkan agar hidup ini berada di tengah-tengah, seimbang, atau 'tawazun'... istilah ustadz-nya. Jangan sampai berlebihan pada satu hal, kemudian meninggalkan kewajiban dan hak yang lain. Hidup harus seimbang agar seluruh hak dan kewajiban dapat dipenuhi.
Ada makna lainnya lagi, kata 'mendo" apabila huruf "E" dilafalkan seperti pada kata 'Ekonomi', sedangkan huruf "O" dilafalkan sebagaimana pada kata 'kotor', maka dalam bahasa Jawa krama (Jawa halus) akan memiliki definisi 'kambing' alias wedhus.
Apabila kata dasar mendhoan ini adalah 'endho' dan pelafalannya juga diucapkan serupa dengan mendo yang berarti kambing, maka akan memiliki terjemahan 'menghindar'. Contoh dalam kalimat " Pas arep ditabrak motor, aku endho" = Pada saat hendak ditabrak sepeda motor, saya menghindar.
Bila demikian mendhoan mengingatkan kita agar menghindar pada suatu zona nyaman tertentu. Jangan terbuai oleh suatu kenikmatan, termasuk saat merasakan lezatnya mendhoan apalagi dilumuri kecap sambel. Karena masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk menuju kemuliaan keatas (mendhuwur) dalam upaya memberikan manfaat ke bawah (mendhak). Perubahan adalah kebutuhan hidup, sebab hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Keren...bro.
Mantap... mendhoan telah tersaji dan kini saatnya biarkan trio bujang menikmati sepinya malam di Ciganea Purwakarta dengan panasnya gorengan mendhoan khas Purwokerto. Hemmm uenak tenan.
Sardana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar