“Belum lengkap tinggal di
Jayapura kalau belum berkunjung ke perbatasan Indonesia – Papua Nugini”, begitu
celoteh pak Rahul (Rahmad Auladi) saat mengajakku main-main ke perbatasan
Indonesia-Papua Nugini. Sabtu 23 Juli 2016, adalah hari keempat penulis tugas di
Jayapura. Tentu saja mendapat ajakannya langsung saya amini, pikirku kapan lagi
bisa ke sana dan mumpung ada teman.
Sekitar jam 8-an kami (Penulis,
Pak Dwi Krisnanto, pak Muh. Yahya, dan mas Tri Bowo Cahyono) telah berkumpul di
rumah dinasnya pak Rahul yang bersebelahan dengan rumah dinas penulis. Kami memang tinggal satu komplek yang biasa
disebut kompleks Pajak 4 Skyline. Dari sini kami menuju ke kompleks rumah dinas
KPP Pratama Jayapura, persis posisinya di belakang kantor terdapat dua rumah
dinas. Ini mengingatkan pada KPP Pratama Purwakarta yang memiliki rumah dinas
satu kompleks dengan kantor. Jarak dari Skyline ke KPP Pratama Jayapura tidak
begitu jauh sekitar 1 km. Rupanya di sana, kami disambut dengan menu sarapan
pagi yang dimasak oleh para Chef bujang lokal (bulok), pak I Made Darma dan Pak Urip
Widodo, mereka adalah Kasi di KPP Pratama Jayapura. Usai menuntaskan program
sarapan pagi ala para bulok ini, kami mampir dulu ke Hypermart Tanah Hitam
untuk melengkapi perbekalan menuju perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Perjalanan pun dimulai, kondisi
jalan raya mulus, naik turun dan berkelok, di kelilingi hutan yang masih hijau.
Pada jarak yang belum terlalu jauh dari Tanah Hitam nampak di sisi kiri jalan laut
yang begitu indah. Karena terpesonanya melihat pemandangan pak Darma yang dari
Bali bilang, “Nih kalau di Bali, akan jadi tempat wisata yang menarik”. Papua memang memiliki banyak panorama indah yang belum terekspose banyak orang.
Setelah berjalan lebih
kurang 20 km, akan ditemui perkampungan asli Papua yang dikenal dengan Kampung
Nafri. Di kampung tersebut terdapat pos polisi yang dijaga oleh beberapa orang
polisi. Sekilas kehidupan di kampung yang dibelah oleh jalan raya ini nampak adem
ayem, di pekarangan rumah mereka berlarian hewan ternak, terutama babi
berkeliaran kesana-kemari termasuk menyeberangi jalan. Namun dibalik suasana
yang adem ayem, kampung tersebut mendapat julukan yang mebuat bulu
kuduk berdiri, “kampung sadis”. Menurut berbagai informasi, penduduk kampung
tersebut sering melakukan kekerasan fisik bahkan nyawa. Jangan coba-coba berbuat salah di kampung
tersebut bila tak ingin mendapat masalah. Kalau sampai melindas babi mereka misalnya, mungkin akan dapat masalah rumit. Mereka dengan mudahnya melakukan
kekerasan fisik bila ada orang luar dianggap bersalah di kampung tersebut.
Tidak ada jalan lain untuk keluar atau masuk kota Jayapura dari arah timur
selain melewati kampung tersebut. Tidak tahu akan kebenaran informasi itu,
namun hal itu menjadikan kami harus berhati-hati saat melintasi perkampungan
tersebut.
Selepas perkampungan Nafri,
perjalanan masih panjang dengan suasana jalan yang masih sepi dengan kanan-kiri
dikelilingi pepohonan nan hijau menghampar. Hampir dua jam kami berkendaraan dengan
jarak tempuh sekitar 45 km, akhirnya sampai juga mendekati daerah perbatasan.
Sebelum melewati pos penjagaan, di sebelah kiri terdapat pasar yang cukup ramai
dikunjungi pembeli. Itulah Pasar Skouw, pasar ini tidak setiap hari buka.
Sepekan hanya ada tiga hari pasar yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu. Kebetulan sekali
kami berkunjung ke sini di waktu yang tepat, hari Sabtu, hari bukanya pasar
Skouw. Sebagian besar pembeli di pasar ini adalah warga Papua Nugini. WNI
setempat pun dapat berbelanja pada desa terdekat di Papua Nugini. Beberapa
ratus meter dari pasar tersebut terdapat Pos Penjagaan yang dijaga oleh Tentara
Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia Papua Nugini. Di pos ini kami
diperiksa dan ditanyakan maksud dan tujuan kedatangan. Setelah menjelaskan
maksud dan tujuannya, satu satu KTP kami diminta oleh petugas pos. Kami pun
melanjutkan perjalanan menuju gapura perbatasan. Antara pos penjagaan dan
gapura batas tengah dilakukan pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw
yang nampaknya kalau rampung akan jadi bangunan megah.
Tepat disamping pagar dan
gapura perbatasan terdapat monumen pos lintas batas yang prasasti peresmiannya ditandatangi oleh
Presiden RI (SBY) dan PM Papua Nugini. Persis tak jauh di belakang monumen tersebut
terdapat menara perbatasan berwarna putih yang menjulang tinggi. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan petugas yang menjaga
gerbang perbatasan, atas izin petugas jaga kami melewati pagar perbatasan
Indonesia. Untuk masuk ke Papua Nugini masih harus melewati pagar batas lagi,
dan akhirnya kami pun menginjakkan kakinya ke luar negeri tanpa harus menggunakan
paspor.
Kampung Wutung di Papua
Nugini, adalah kampung yang berbatasan langsung dengan desa Skouw yang
berada di Indonesia. Hari itu, mereka berlalu lalang membawa barang belanjaan
yang dibeli dari pasar Skouw. Sejumlah angkutan umum telah menanti di terminal untuk
mengangkut para pembeli itu menuju tujuannya masing-masing. Perjuangan mereka
membawa barang belanjaan lumayan berat, karena harus berjalan kaki dari
pasar Skouw ke terminal Wutung yang berjarak hampir 1 km.
Di balik pagar batas Papua
Nugini terdapat bangunan kantor imigrasi serta beberapa bangunan tempat tinggal
yang digunakan para petugas perbatasan mereka. Di sana pun ada juga yang berjualan,
tetapi hanya beberapa saja, dan tak seramai bila dibandingkan di pasar Skouw.
Alhamdulillah, petualangan pertama di kota Jayapura ini, kami dapat menginjakkan
kaki ke negera tetangga Papua Nugini yang bertepatan juga dengan hari pasar Skouw, sehingga
suasanya cukup ramai.
Jayapura, 4 Agustus 2016
Sardana
Jayapura, 4 Agustus 2016
Sardana