Bila mendengar Pulau Buru ada dari kita akan membayangkan sebuah tempat yang seram karena mengenalnya sebagai pulau pengasingan alias tempat pembuangan para tahanan politik (tapol) di masa orde baru. Namun saat ini bayangan yang menyeramkan itu sulit ditemui. Pulau Buru merupakan salah satu pulau terbesar di Kepulauan Maluku, menempati urutan ketiga setelah Pulau Halmahera (Maluku Utara), dan Pulau Seram. Meskipun Pulau Buru lebih luas dibandingkan Pulau Ambon yang merupakan ibu kota Propinsi Maluku, namun namanya tak dikenal luas seluas ukurannya. Secara administrasi pulau ini merupakan wilayah Kabupaten Buru dengan ibu kota Namlea yang terletak di Buru Utara Timur.
Perjalanan dari kota Ambon ke pulau Buru hanya dapat ditempuh dengan perjalanan laut. Semula memang pernah ada jalur udara, namun saat ini jalur penerbangan pesawat rintis jenis twin otter itu berhenti beroperasi. Mau tak mau harus gunakan tranportasi laut dengan 2 pilihan, menggunakan kapal ferry atau dengan kapal ekspres. Waktu tempuh dengan kapal cepat dari Ambon ke pelabuhan Namlea sekitar empat jam, sedangkan untuk kapal fery ditempuh dengan waktu sekitar 8-10 jam. Karena alasan tertentu pilihan untuk menuju ke pulau Buru dengan menggunakan kapal ferry.
Jadwal perjalanan kapal ferry pun dari pelabuhan Galala Ambon jam 20.00. Tiba di Pelabuhan Ambon bersiap mengantri bersama ratusan calon penumpang yang lain. Beruntung kami masih mendapatkan tiket kelas eksekutif dengan harapan bisa beristirahat di kapal karena besok harus langsung turun ke lokasi objek yang ditinjau.
Ombak laut selat Manipa yang begitu bersahabat mengayun-ayun lembut hingga membuat lelap tidur sepanjang malan perjalanan. Jam 4 kurang dini hari, awak kapal ferry Wayangan mengumumkan bahwa kapal segera menyandar di pelabuhan Namlea. Tepat waktu bahkan lebih cepat sedikit dari jadwal kapal telah bersandar di pelabuhan. Puluhan kendaraan roda dua dan roda empat, serta ratusan penumpang menunggu antrian keluar dari perut ferry.
Suhu dan cuacanya lumayan panas, siang hari suhunya sekitar 33¤ bahkan bisa mencapai 40¤. Suasana kota Namlea sendiri tentu tidak seramai ibu kota kabupaten di Jawa. Jalanan dalam kota yang begitu lengang, tidak pernah ditemui titik kemacetan. Tak jauh dari pelabuhan Namlea berdiri berbagai gedung-gedung pusat pemerintah daerah.
Masjid Agung Al-Buruj berdiri kokoh di pusat kawasan pemerintahan. Kantor Bupati Buru terletak tak begitu jauh dari masjid agung. Tugu kota Namlea tegak menjulang di tengah bundaran menjadi salah satu ikon kabupaten Buru.
Perjalanan berikutnya menuju arah selatan-timur ke wilayah Mako, Waeapo, dan Lulung Guba yang berjarak sekitar 45 km dari Namlea. Pemandangan kanan kiri jalan dipenuhi bebukitan dengan jalan berkelok-kelok namun datar. Setelah melewati jalanan berbukit memasuki kawasan daerah transmigran dengan hamparan sawah yang menghijau. Saluran irigasi dengan aliran air yang jernih memanjang mengairi sawah para transmigran. Sektor perkebunan sudah mulai dirintis beberapa tahun terakhir diantaranya perkebunan karet.
Bukan hanya sektor pertanian dan perkebunan di kabupaten Buru juga terdapat penambangan emas di gunung Botak. Semula penambangan di gunung Botak ini dilakukan secara liar oleh para penambang perorangan yang datang dari berbagai daerah, namun saat ini penambangan dilakukan oleh suatu badan usaha.
Adapun kalau ke arah utara-timur Namlea menuju wilayah kecamatan Air Buaya, jalannya lurus menyisiri tepi laut. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi meneduhi sebagian jalan raya dari terik matahari. Tak jauh dari Namlea ada wisata pantai yang indah namanya Pantai Jikumarasa. Untuk masuk ke lokasi wisata tak bayar alias gratis. Sayang saat mampir tidak ada pengunjung, maklum hari kerja. Suara deburan ombak yang menghantam pantai pasir putih mampu melepas rasa lelah seharian.
Ada satu hal yang unik di kota ini, sepanjang jalanan setiap kali menemui rumah makan padang selalu bernama 'ayah' atau 'ayah atas'. Sangkaanku apa mungkin mereka merupakan usaha waralaba, atau dalam keisenganku mungkin ibunya di Jakarta sebab di Jakarta kan banyak rumah makan padang 'bundo kanduang', sedangkan "ayah" nya yang merantau ke Namlea (hehe.. canda ini mah). Ternyata bukan begitu asal muasalnya. Kata salah seorang pedagang rumah makan padang dahulu orang yang pertama berjualan nasi padang di Namlea ini bernama 'Ayah' dan mereka adalah satu keturunan, jadi gak ada yang saling meributkan nama 'ayah' yang disematkan di rumah makan mereka. O gitu toh... Salah tebak deh.
Suhu dan cuacanya lumayan panas, siang hari suhunya sekitar 33¤ bahkan bisa mencapai 40¤. Suasana kota Namlea sendiri tentu tidak seramai ibu kota kabupaten di Jawa. Jalanan dalam kota yang begitu lengang, tidak pernah ditemui titik kemacetan. Tak jauh dari pelabuhan Namlea berdiri berbagai gedung-gedung pusat pemerintah daerah.
Masjid Agung Al-Buruj berdiri kokoh di pusat kawasan pemerintahan. Kantor Bupati Buru terletak tak begitu jauh dari masjid agung. Tugu kota Namlea tegak menjulang di tengah bundaran menjadi salah satu ikon kabupaten Buru.
Perjalanan berikutnya menuju arah selatan-timur ke wilayah Mako, Waeapo, dan Lulung Guba yang berjarak sekitar 45 km dari Namlea. Pemandangan kanan kiri jalan dipenuhi bebukitan dengan jalan berkelok-kelok namun datar. Setelah melewati jalanan berbukit memasuki kawasan daerah transmigran dengan hamparan sawah yang menghijau. Saluran irigasi dengan aliran air yang jernih memanjang mengairi sawah para transmigran. Sektor perkebunan sudah mulai dirintis beberapa tahun terakhir diantaranya perkebunan karet.
Bukan hanya sektor pertanian dan perkebunan di kabupaten Buru juga terdapat penambangan emas di gunung Botak. Semula penambangan di gunung Botak ini dilakukan secara liar oleh para penambang perorangan yang datang dari berbagai daerah, namun saat ini penambangan dilakukan oleh suatu badan usaha.
Adapun kalau ke arah utara-timur Namlea menuju wilayah kecamatan Air Buaya, jalannya lurus menyisiri tepi laut. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi meneduhi sebagian jalan raya dari terik matahari. Tak jauh dari Namlea ada wisata pantai yang indah namanya Pantai Jikumarasa. Untuk masuk ke lokasi wisata tak bayar alias gratis. Sayang saat mampir tidak ada pengunjung, maklum hari kerja. Suara deburan ombak yang menghantam pantai pasir putih mampu melepas rasa lelah seharian.
Ada satu hal yang unik di kota ini, sepanjang jalanan setiap kali menemui rumah makan padang selalu bernama 'ayah' atau 'ayah atas'. Sangkaanku apa mungkin mereka merupakan usaha waralaba, atau dalam keisenganku mungkin ibunya di Jakarta sebab di Jakarta kan banyak rumah makan padang 'bundo kanduang', sedangkan "ayah" nya yang merantau ke Namlea (hehe.. canda ini mah). Ternyata bukan begitu asal muasalnya. Kata salah seorang pedagang rumah makan padang dahulu orang yang pertama berjualan nasi padang di Namlea ini bernama 'Ayah' dan mereka adalah satu keturunan, jadi gak ada yang saling meributkan nama 'ayah' yang disematkan di rumah makan mereka. O gitu toh... Salah tebak deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar