Di era demokrasi seperti sekarang ini memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk menduduki jabatan publik. Bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden begitu terbuka walau tak semudah meraihnya.
Sebenarnya bagaimana Islam memandang terhadap maraknya perebutan jabatan di berbagai level tersebut sebagaimana maraknya pemilukada bahkan sebentar lagi pilpres yang akan digelar.
Bolehkan meminta jabatan? atau terlarangkan meminta jabatan?
Berikut ini disampaikan salah satu tulisan dari ustadz Farid Nu'man Hasan ketika menjawab pertanyaan tentang banyaknya ustadz yang mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah.
Kewajiban dakwah adalah pasti, dan dakwah itu mesti masuk ke semua
lini kehidupan, termasuk di pusat kekuasaan. Jangan sampai dakwah Islam
jalan di tempat, dia hanya ada di dalam masjid, majalah Islam, dan
bulletin Jumat. Sementara di pusat kekuasaan masih tenang dan nyaman
dikuasai oleh orang-orang yang memusuhi Islam, atau orang yang belum
jelas keberpihakannya kepada agama dan dakwah. Oleh karenanya,
pandanglah para da’i yang mencalonkan dirinya pada pusat dan puncak
kekuasaan adalah dalam rangka ini. Kalau pun di puncak kekuasaan itu
sudah ada orang Islamnya, dan dia pun sudah berbuat banyak bagi Islam
dan umat, maka pandanglah ini sebagai upaya ta’awun ‘alal birri wat taqwa (saling membantu dalam kebaikan dan taqwa) dan fastabiqul khairaat (berlomba-lomba dalam kebaikan).
Kemudian…….
Mencalonkan diri, atau meminta jabatan –baik jabatan negara,
kemasyarakatan, dan keagamaan seperti imam masjid, imam shalat, ketua
RT/RW, lurah, dan sebagainya- dalam budaya aktivis muslim yang dididik
dalam bingkai tawadhu, zuhud, ikhlas, dan wara’, memang dirasa
hal yang tabu, dan tidak biasa. Tetapi, pemahaman seperti ini boleh saja
ditata ulang lagi, benarkah mencalonkan diri untuk menjadi pejabat dan
pemimpin pasti dan tidak bisa tidak,
adalah bermakna ambisius, tidak tawadhu, dan lainnya? Apakah
mencalonkan diri pasti menodai keikhlasan? Pada sebagian orang bisa jadi
benar, tetapi apakah semuanya seperti itu? Jika sudah seperti ini, maka
yang dipermasalahkan adalah sifat personally-nya. Jika
permasalahan berputar pada ketakutan rasa tidak ikhlas, kurang tawadhu,
tidak zuhud, maka yang terlarang bukan hanya meminta jabatan, semua amal
baik jika dilakukan tidak ikhlas juga salah. Cobalah anggap, orang yang
meminta jabatan sebagai inisiatif darinya untuk beramal shalih, setelah
kita menyepakati bahwa memang jabatan sebagai alat untuk beramal
shalih.
Jabatan dan harta memiliki potensi yang sama; fitnah dan manfaat
sekaligus. Keduanya menjadi fitnah jika dipegang oleh orang-orang yang
memiliki niat jahat yang dengannya dia bisa melakukan kejahatan, atau
punya niat baik, tetapi tidak punya kecakapan mengelola keduanya.
Sebaliknya, keduanya menjadi manfaat yang besar bagi umat manusia jika
dikuasai oleh orang-orang berhati mulia, shalih, dan cakap dalam
mengelolanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu:
يا عمرو نعم المال الصالح للمرء الصالح
Wahai Amr, sebaik-baiknya harta adalah harta yang ada pada orang shalih. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 299, Ahmad No. 17763, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1248, Ibnu Hibban No. 3210. Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 4455, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih Adabil Mufrad No. 299. Juga dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Taliq Musnad Ahmad No. 17763)
Banyak manusia menggunakan hadits Abu Dzar dalam melarang meminta
jabatan, tetapi kenapa mereka tidak mau melihat hadits berikut ini?
Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي قَالَ
أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا
يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau
bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang
paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin dan jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud No. 531, Ahmad No. 17906, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8365, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1636, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906)
Jelas sekali seorang sahabat nabi, Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhialahu ‘Anhu meminta
kedudukan sebagai pemimpin bagi kaumnya -yakni dalam konteks hadits ini
adalah pemimpin shalat- dan nabi pun menunjuknya sebagai seorang
pemimpin bagi kaumnya itu. Para pensyarah hadits juga menjelaskan bahwa
hadits ini dalil kebolehan meminta jabatan kepemimpinan, sebagaimana
yang nanti kami paparkan.
Bersama para imam dan ulama
Sebagian fuqaha berpendapat boleh-boleh saja meminta jabatan, sama
sekali bukan hal yang dibenci.Tentunya jika dia benar-benar ingin
berjuang untuk agama, berkhidmat untuk umat, dan memiliki kecakapan
terhadap jabatan tersebut. Bukan untuk memperkaya diri dan ambisi-ambisi
pribadi apalagi lagi menyalahgunakannya. Inilah kuncinya.
Berikut ini pendapat para ulama tentang meminta jabatan dan juga kepemimpinan.
1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:
فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ قَدْحًا مَانِعًا وَلَيْسَ طَلَبُ الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا
“Sebagian fuqaha mengatakan bahwa memperebutkan jabatan kepemimpinan tidaklah tercela dan terlarang, dan mengincar jabatan imamah bukan suatu yang dibenci.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 7)
2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:
الحديث يدل على جواز طلب الإمامة في الخير وقد ورد في
أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون
{وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة
Hadits ini menunjukkan kebolehan meminta jabatan kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara doa-doa para ibadurrahman, di mana Allah Ta’ala menyifati mereka dengan sifat tersebut, bahwa mereka berkata (Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta jabatan itu bukanlah merupakan hal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)
3. Syaikh Said bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani Hafizhahullah juga mengutip perkataan Imam Ash Shan’ani di atas, lalu dia melanjutkan:
فإن ذلك فيما يتعلق برياسة الدنيا التي لا يُعَانُ مَنْ
طلبها، ولا يستحق أن يُعْطَاهَا مَنْ سأله، فإذا صَلحت النية وتأكدت الرغبة
في القيام بالواجب والدعوة إلى الله – عز وجل – فلا حرج من طلب ذلك.
Sesungguhnya hal ini terkait dengan jabatan dunia yang tidak usah
ditentang orang yang memintanya, dan tidak pula berhak diberikan kepada
yang memintanya, namun jika dia niatnya bagus dan diperkuat oleh
keinginan untuk menjalankan kewajiban dan dakwah ilallah ‘Azza wa Jalla, maka tidak apa-apa meminta jabatan itu. (Al Imamah fish Shalah, Hal. 4)4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
فطلب رضي الله عنه إمامة قومه للمصلحة الشرعية،
ولتوجيههم للخير وتعليمهم وأمرهم بالمعروف، ونهيهم عن المنكر، مثلما فعل
يوسف عليه الصلاة والسلام .
قال العلماء : إنما نهي عن طلب الإمرة والولاية ، إذا لم
تدع الحاجة إلى ذلك؛ لأنه خطر ، كما جاء في الحديث: النهي عن ذلك ، لكن
متى دعت الحاجة والمصلحة الشرعية إلى طلبها جاز ذلك ، لقصة يوسف عليه
الصلاة والسلام ، وحديث عثمان رضي الله عنه المذكور
Beliau (Utsman) Radhiallahu ‘Anhu meminta jabatan sebagai
pemimpin karena pertimbangan maslahat syar’i, dalam rangka mengantarkan
manusia kepada kebaikan, mengajarkan mereka, dan memerintahkan yang
baik, dan mencegah kemungkaran, sebagaimana yang dilakukan Yusuf ‘Alaihissalam.
Berkata para ulama: bahwasanya meminta jabatan adalah perkara yang
terlarang, jika memang tidak ada keperluan untuk itu karena hal itu
berbahaya sebagaimana diterangkan dalam hadits yang menyebutkannya.
Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan maslahat yang syar’i
untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al ‘Ash) Radhiallahu ‘Anhu tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 7/232)
فهل يجوز طلب الإمامة؟ والجواب: إذا كان يترتب على ذلك مصلحة فلا بأس به؛ لأن الإمامة قربة وعبادة
Maka, bolehkah meminta menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah. (Syarh Sunan Abi Daud, 3/404)
6. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhts Al ‘Ilmiyah wal Ifta di kerajaan Saudi Arabia
يجوز لك طلب الإمامة للمسجد الذي بنيته، إذا توفرت فيك شروط الإمامة، ولك أن تأخذ عليها أجرة من بيت المال ولا ينقص ذلك من أجرك
Boleh bagi Anda meminta jabatan sebagai ketua masjid yang telah Anda jelaskan, jika memang pada diri Anda memiliki banyak syarat menjadi pemimpin, dan Anda juga berhak mendapatkan honor atas hal itu yang berasal dari Baitul Maal, dan hal itu tidaklah mengurangi pahala Anda. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah – Majmu’atul Ulaa, Fatwa No. 8949)
Bersama Nabi Yusuf ‘Alaihissalam
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam yang meminta kepada raja agar dirinya dijadikan penanggung jawab keuangan negerinya:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Ayat ini menerangkan dua hal, yaitu pertama, meminta jabatan, kedua, syarat menjadi pejabat yakni hafizhun ‘alim -
pandai menjaga amanah dan berpengetahuan. Jika syarat ini tidak
terpenuhi, maka tidak selayaknya seseorang meminta-minta jabatan.
Seseorang harus jujur atas dirinya sendiri, jujur atas niat dan
kemampuan dirinya. Ayat ini sering dijadikan dasar para ulama tentang
kebolehan meminta jabatan dengan syarat seperti di atas.
وأراد يوسف أن ينفع العباد، ويقيم العدل بينهم، فقال
للملك: اجعلني واليًا على خزائن “مصر”، فإني خازن أمين، ذو علم وبصيرة بما
أتولاه.
Yusuf bermaksud bisa memberikan manfaat bagi manusia, dan menegakkan
keadilan di antara mereka, lalu dia berkata kepada raja: “Jadikanlah aku
pemimpin (penanggung jawab) atas perbendaharaan negeri Mesir,
sesungguhnya aku orang yang amanah terhadap harta, dan memiliki ilmu
serta bashirah (kepandaian) terhadap apa-apa yang menjadi tanggung jawabku.” (Tafsir Al Muyassar, 4/155)
Pihak yang melarang manusia meminta jabatan biasanya mendasarkan pendapatnya pada hadits-hadits berikut.
Pertama, Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ
ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ
وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
فِيهَا
Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakan aku? Lalu dia menepuk
tangannya ke pundakku, lalu bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah,
sedangkan tugas itu adalah amanah, dan pada hari kiamat hal itu akan
menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya
sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik.” (HR. Muslim No. 1725)
Hadits ini menunjukkan sebab larangan meminta jabatan, yakni kelemahan dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu. Kelemahan itu dapat membuat seseorang tidak becus menjalankan
amanahnya sehingga akan membawa malapetaka dan penyesalan di akhirat.
Sehingga larangan ini adalah khusus bagi mereka yang lemah. Ada pun bagi
yang mampu menjalankan dengan baik dan sesuai haknya, maka ini di luar
larangan tersebut dan tidak akan mengalami penyesalan yang dimaksud.
Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “… kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik.” Pengecualian
ini harus diperhatikan, jangan hanya melihat larangannya saja. Namun,
di sisi lain pengecualian ini juga menunjukkan betapa hanya sedikit
manusia yang mampu menjalankannya, sehingga dia dijadikan pengecualian,
dan biasanya pengecualian selalu lebih sedikit dibanding umumnya.
وهو إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها أن من كان
كذلك فليس ممن لحقه في ذلك نهى ولا لحقته فيه كراهة وأن الكراهة لذلك إنما
تلحق المتعرضين له الطالبين لولايته
Dan “dikecualikan bagi yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik”, bahwasanya
siapa saja yang seperti itu maka dia bukanlah termasuk yang dilarang
dan bukan termasuk yang dibenci, sesungguhnya dibencinya itu adalah jika
melekat padanya ketamakan untuk meminta jabatannya itu. (Bayan Musykil Al Aatsar, 1/26)
Imam An Nawawi menjelaskan bahwa penyesalan yang dihasilkan dari
jabatan pada hari kiamat nanti adalah besar, tetapi pahalanya juga besar
bagi yang benar menjalankannya. Beliau mengatakan:
هذا الحديث أصل عظيم في اجتناب الولايات لا سيما لمن كان
فيه ضعف عن القيام بوظائف تلك الولاية وأما الخزي والندامة فهو في حق من
لم يكن أهلا لها أو كان أهلا ولم يعدل فيها فيخزيه الله تعالى يوم القيامة
ويفضحه ويندم على ما فرط وأما من كان أهلا للولاية وعدل فيها فله فضل عظيم
تظاهرت به الأحاديث الصحيحة كحديث سبعة يظلهم الله
Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam hal menjauhi dari jabatan
kepemimpinan, apalagi bagi mereka yang lemah dalam menjalankan
tugas-tugas kepemimpinan itu. Ada pun kehinaan dan penyesalan itu adalah
hak bagi siapa yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas, pen),
atau dia ahli tapi tidak menjalankannya secara adil, maka Allah Ta’ala
akan membuatnya hina pada hari kiamat, dan akan membuka kejelekannya
serta menyesali atas apa yang dia lalaikan. Sedangkan bagi orang yang
ahli dan adil, maka baginya keutamaan yang agung, seperti yang nampak
dalam berbagai hadits shahih seperti hadits tujuh golongan manusia yang
akan Allah Ta’ala berikan naungan kepada mereka. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/211)
Kedua, Abdurrahman bin Sammurah Radhiallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ
الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ
إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu minta jabatan,
sesungguhnya jika kamu memperolehnya dari meminta maka kamu akan menjadi
lemah binasa karenanya, dan jika kamu diberikan jabatan tanpa
memintanya maka kamu akan mendapat pertolongan. (HR. Bukhari No. 6622,
Muslim No. 1652)
فيه دليل على أنه من تعاطى أمرًا وسولت له نفسه أنه قائم
بذلك الأمر أنه يخذل فيه فى أغلب الأحوال ؛ لأنه من سأل الإمارة لم يسألها
إلا وهو يرى نفسه أهلا لها
Pada hadits ini merupakan dalil bahwa orang yang sibuk mengerjakan tugas yang didapatkan melalui minta-minta, dan dia menjalankan tugas itu, maka dia akan terlantar di banyak keadaan, karena orang yang meminta jabatan tidaklah dia memintanya melainkan dia melihat dirinya dalam keadaan mampu menjalankannya. (Syarh Shahih Al Bukhari, 8/217)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Jibrin menjelaskan
hakikat jabatan, yang akhirnya tidak pantas untuk diminta-minta:
والمراد بها الولاية على مجموعة والرئاسة عليهم، فالأمير
هو الذي يكون والياً على أهل بلد أو والياً وأميراً ورئيساً على قسم أو
على جهة أو على أسرة أو قبيلة أو نحو ذلك يرجعون إليه ويطيعونه، ويأمرهم
بما يراه صالحاً لهم ونحو ذلك، والإمارة يُختار لها الأكفاء الذين فيهم
الأهلية، ويبتعد عن اختيار من ليس كفؤاً لها، والإنسان لا يحرص عليها، وذلك
لما فيها من المسئولية، ولما فيها من التعب والعمل الذي يناط بذلك الأمير،
ولأن الناس يتعلقون به ويطلبون منه أن يفعل كذا وكذا، فيكون ذلك قدحاً في
عدالته إذا اتهم وألصقت به التهم، أو عمل وليس من أهل العمل أو نحو ذلك،
فلأجل هذا ينهى عن أن يسألها.
Yang dimaksud dengan kepemimpinan di sini adalah semua bentuk
kepemimpinan, jadi dia adalah pemimpin bagi penduduk sebuah negeri, atau
sebagai penguasa, pemimpin, kepala, baik kepala bagian, seksi,
keluarga, kabilah, atau semisalnya, di mana mereka merujuk kepadanya dan
mentaatinya, dan dia memerintahkan mereka kepada apa-apa yang
menurutnya baik untuk mereka dan semisalnya. Kekuasaan diperuntukkan
bagi mereka yang punya kompetensi dan hendaknya dijauhkan dari mereka
yang tidak punya kemampuan, dan manusia tidak boleh rakus kepadanya,
karena di dalamnya terdapat tanggung jawab, kerja keras, dan pekerjaan
yang dibebankan kepada penguasa, karena manusia menggantungkan diri
kepadanya dan menuntutnya untuk melakukan ini dan itu, namun dia
ternyata mengalami cacat dalam keadilannya maka dia akan dituduh dan
dicurigai, atau dia disebut melakukan pekerjaan yang bukan ahlinya, atau
semisalnya. Nah, karena inilah dilarang untuk meminta jabatan. (Syarh ‘Umdatul Ahkam, 71/4)
Maka, kami kira penjelasan para imam ini sudah cukup mewakili dan
jelas, bahwa larangan meminta jabatan adalah bagi orang yang lemah, atau
pekerjaan itu begitu berat dan kekuatannya tidak cukup, atau dia bukan
ahlinya, jadi bukan larangan bagi semua orang. Ada pun bagi yang punya
kemampuan dan kekuatan maka dia tidak termasuk dilarang, bahkan jika dia
adil, maka keutamaan besar sedang menanti dirinya. Dan, hadits ini
nampak jelas tidak bertentangan dengan hadits Utsman bin Abu Al ‘Ash
yang membolehkan meminta kedudukan sebagai pemimpin, dan kisah Nabi
Yusuf ‘Alaihissalam, justru semuanya saling menguatkan. Makna
“orang lemah” di sini bisa dikonversi ke zaman ini yakni lemah iman,
kemampuan manajerial, lemah fisiknya, kemauan, dan sebagainya.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.
Sardana
Sumber tulisan:
http://www.dakwatuna.com/2013/04/01/30274/meminta-jabatan-terlarangkah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar