Sudah kebiasaan setiap bepergian jauh dengan kendaraan umum apalagi yang terjadwal, saya selalu jauh datang lebih awal di titik pemberangkatan. Sebenarnya masih ada waktu 2 jam lagi jadwal pemberangkatan kereta Malabar dari stasiun kota Malang, namun sudah kuminta anak untuk mengantar ke stasiun. Memang waktu bersepeda motor dari kontrakan anak di sekitar Dinoyo ke stasiun mungkin tak lebih dari 15 menit. Barangkali karena menganggap saya terburu-buru, anak saya masih asyik dengan urusan laptopnya. Setelah 15 menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda menshutdown laptopnya, akhirnya saya minta kembali karena khawatir hujan. Dia pun bergegas berkemas menyiapkan diri. Benar saja apa yang saya khawatirkan terjadi, baru 5 menit bermotor ria tiba-tiba hujan lebat, langsung dipinggirkan sepeda motor di pertokoan yang tutup di sekitar jalan Slamet Riadi. Waduh... di bagasi motor tidak ada jas hujan. Terpaksalah menunggu hujan berhenti. Setengah jam berlalu hujan tak kunjung berhenti, padahal jam pemberangkatan kereta sudah makin mendekat. Padahal di jalur itu gak ada jalur angkutan yang lewat stasiun. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan kaki ke arah bundaran perempatan jalan Besar Ijen, seingat saya ada jalur angkutan yang lewat stasiun. Alhamdulillah, dari bundaran itu saya mendapati angkutan kode AL yang lewat stasiun, dan tiba di stasiun Malang 15 menit sebelum jam pemberangkatan. Lega hati ini.
Di dalam kereta, duduk di samping seorang bapak tua, tapi nampak masih bugar. Dalam benak saya bapak ini sepertinya pensiunan tentara. Benar saja, dari obrolan dia adalah seorang purnawirawan AD 19 tahun yang lalu, dan saat ini sudah berusia 75 tahun. “Subhanallah, di usia 75 tahun masih bepergian jauh seorang diri dari Malang ke Bandung”, gumamku dalam hati.
Untuk memenuhi hasrat ingin tahu, saya tanya, “Bandung-nya di mana pak?”. “Di jalan Sindang Sirna, itu daerah mana ya?”, jawab sekaligus balik tanya. Secara repleks tangan ini mengaktifkan google map yang ada di HP untuk mencari jalan Sindang sirna, sambil terus menjawab pertanyaan bapak tadi, “Itu di daerah Sukajadi – Ledeng dekat kolam renang Karang Setra, bapak ada acara apa?”. “Ada undangan reuni seangkatan di gedung Pusdikku”, jelas bapak.
Hasil google map sudah didapat, tanpa dimintanya saya tunjujan dan jelaskan posisi gedung yang dimaksud bapak tadi, “Ini pak gedungnya, jadi kalau bapak turun dari kerepa di stasiun besar Bandung, keluar dari stasiun lama pintu selatan. Nanti bapak naik di angkutan L-300 jurusan Lembang, minta turun di perempatan Sindang Sirna atau Karang Setra. Setelah itu bapak bisa berjalan kaki atau mungkin naik ojek”.
Nampak bapak sangat senang mendengar penjelasan itu. Maklum, katanya terakhir ke Cimahi – Bandung tahun 70-80-an. Sudah pasti banget, saya pun ikut senang kalau sendainya yang dilakukan tadi bermanfaat dan membantu bapak tersebut.
Masih ada rasa penasaran sama bapak, sambung tanya-tanya tentang keluarganya, “Udah punya cucu berapa pak?”. “Ada 5 cucu”, jawabnya. “Dari anak berapa pak?”. “3 anak, semuanya udah memberikan cucu”.
Saya, “Bahagia sekali ya pak, mereka di Malang semua pak?”
Bapak, “Tidak, mereka di Jakarta, Tangerang, sama Bekasi”
Saya, “Ooh, jadi kumpul bareng setahun ya pak?”
Bapak, “Ya, kadang-kadang Bapak yang datangi anak-anak, kan jauh lebih hemat karena hanya berdua. Sedangkan kalau mereka harus ke Malang, lebih repot sama cucu-cucunya”
Saya, “Menyenangkan sekali masa tua bapak ini”
Itulah sepenggal obrolan dengan bapak tua dalam perjalanan pulang dari Malang ke Bandung. Ada sebuah harapan pada diri saya, istri, dan keluarga, semoga sampai usia senja diberikan kesehatan, sehingga masih dapat menjaga tali silaturahim dengan anak, saudara, kerabat, dan sabahat. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar