Ketika mendengar kata ”harta” tentu setiap orang ingin memilikinya.
Karena harta merupakan salah satu simbol kesuksesan hidup dan tentunya sekaligus
sebagai salah satu sarana untuk menuju hidup yang lebih sukses lagi. Kemacetan
Jakarta yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga ibu kota
adalah sebagai salah satu akibat dari aktivitas berjuta manusia yang mencari harta di
sekitar Jakarta. Tidak sedikit suami yang harus berpisah dengan istri dan
anak-anaknya, ada yang berjumpa keluarga sepekan sekali (kalau yang ini... curcol diri sendiri nih.. he .. he..), mungkin sebulan sekali, bahkan ada yang sampai
bertahun-tahun baru bisa berjumpa dengan istri dan keluarganya. Ini semua
mereka lakukan demi untuk mencari harta.
Tulisan tidak dimaksudkan untuk membicarakan bagaimana cara
mendapatkan harta tersebut, sebab semua tentu sepakat harta yang ingin kita
dapatkan adalah harta yang halal.
Adapun sisi lain yang juga penting harus diperhatikan pada
harta adalah: “Bagaimana harta kita
belanjakan ?” Sebab dalam ajaran agama (Islam) ketika berbicara harta maka
ada dua aspek yang disinggung yaitu dari mana diperolehnya dan kemana
membelajakannya. Sabda Nabi Muhammad Saw:
Tidak
akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ditanya
tentang empat perkara: (antara lain)…. tentang
hartanya, dari mana harta tersebut didapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, …..” (HR. At-Tirmidzi)
Sebagaimana disinggung bahwa harta bukan semata-mata simbol sukses
atas usaha kita selama ini, tetapi dengan harta itu kita juga ingin meraih kesuksesan yang lebih
lagi yaitu sukses dunia dan
akhirat. Sehingga diperlukan manajemen bagaimana pengeluaran harta agar obsesi kesuksesan
itu bisa tercapai.
Pertama, penuhi hak Allah swt. Harta walaupun
didapatkan dari jerih payah kita bekerja, tetapi sesungguhnya yang memberikan
adalah Allah swt sebagai yang Maha Pemberi Rizqi (Arrozzaak). Ketika memang
Allah swt mewajibkan untuk menunaikan zakat, maka tidak ada pilihan lain kecuali
kita menunaikan zakat dengan sepenuhnya. Khalifah Abu Bakar marah besar ketika
ada kabilah-kabilah arab yang berani mengusir amil zakat utusan
khalifah untuk memungut zakat di kabilah mereka. Khalifah Abu Bakar mengatakan:
"Demi
Allah, saya akan perangi setiap orang yang memisahkan salat dan zakat. Zakat
adalah kewajiban yang jatuh pada kekayaan. Demi Allah kalau mereka menolak saya
dalam membayarkan apa-apa yang dulu mereka bayarkan kepada Rasul Allah, Sallallahu'alaihi
wassalam, saya akan perangi mereka!" Dan
ucapan beliau benar-benar dibuktikan dengan mengirimkan laskar
untuk memerangi mereka, agar mereka bertaubat dan mau membayar zakat. Belum
lagi ketika al-qur’an memberitakan kabar gembira balasan bagi mereka yang
menginfaqkan hartanya di jalan Allah dilipatgandakan hingga 700 kali
(Al-Baqarah : 261). Sungguh begitu banyak keutamaan bagi orang yang mau menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan infaq dan shodaqoh. Maka segera penuhi hak Allah ini sebelum dibelanjakan bagi yang lainnya.
Kedua, penuhi hak pihak ketiga
(hutang-hutang). Hal yang terkadang tidak bisa kita hindari dalam hidup
yaitu terpaksa kita harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Jangan anggap
sepele masalah hutang, karena ayat terpanjang dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah :
282) mengulas tentang bagaimana kalau kita berhutang yakni “disuruh menuliskan
atas transaksi yang tidak tunai”. Yuk.. catat itu hutang-hutang kita, jangan sampai
lupa, apalagi sengaja melupakannya. Dari Jabir ra ia berkata,”Rasulullah SAW tidak menshalatkan orang yang
meninggal dalam kondisi berhutang”. Kemudian didatangkan 1 jenazah. Rasul
bertanya “Apakah dia punya hutang?”Sahabat
menjawab,”Ya, 2 dinar.” Rasul
bersabda,”Shalatkanlah teman kalian.”Berkata
Abu Qatadah Al Anshari,”Ke 2 nya
tanggungan saya wahai Rasulullah SAW”. Kemudian Rasulullah SAW
menshalatinya.
Bagaimana
Rasulullah saw tidak bersedia menshalatkan jenazah yang masih memiliki hutang,
sampai ada pihak yang menanggung tas hutang-hutangnya. Jika kita saat ini sedang idberi rizki yang lebih, buka catatan hutang-hutang kita. Ayo segera lunasi. Ada pernyataan nabi yang membuat merinding: “Diampuni bagi orang yang mati syahid semua dosa nya kecuali hutang.” (HR. Muslim).
Berat resiko yang ditanggung bagi orang yang memiliki hutang.
Ketiga, belanjakan untuk masa depan (pendidikan
anak-anak, sakit, tua). Penghasilan yang
kita terima tidak selalu tetap, terkadang naik terkadang turun. Kondisi fisik
juga tak selamanya sehat. Bahkan tidak ada yang memastikan kalau tempat kita
bekerja tidak akan bangkrut. Resiko PHK bisa saja mengancam kita. Usia tua? Pasti,
tidak ditunggupun akan tiba juga. Sebelum semua itu terjadi harus diantisipasi.
Sebagaimana nabi Yusuf telah menyampaikan ta’wil atas mimpi sang raja Al-‘Aziz
bahwa akan masa subur 7 tahun dan akan suatu masa paceklik selama 7 tahun, maka untuk
menghadapinya harus menyimpan sebagaian hasil panen di saat masa subur tersebut
(QS. Yusuf : 46-48). Mari ambil sebagian
penghasilan kita untuk menabung (saving)
ataupun investasi sebagai bentuk antisipasi. Apalagi kalau memiliki pasif income, tentu lebih mantap lagi. Jangan
sampai ketika anak membutuhkan biaya pendidikan tidak ada uang, ketika ada
anggota keluarga yang jatuh sakit tidak ada untuk biaya berobatnya. Jangan
sampai di saat usia tua dan sudah tak berdaya, tak ada lagi dana untuk biaya
sehari-hari. Tentu kita tidak berharap hidup ini jadi berantakan hanya karena
keteledoran atau acuh tak acuh diri kita akan ketersediaan dana darurat. Perlu ketegasan dalam mengalokasikan panghasilan yang kita peroleh untuk saving atau investasi ini.
Keempat, belanjakan sesuai kebutuhan saat
ini. Keinginan untuk membelajakan uang saat ini semakin mudah. Iklan
berbagai produk terus ditayangkan menggoda hasrat kita untuk membeli. Produsen
gadget yang semakin inovatif terus membuat produk-produk terbaru dengan
berbagai keunggulannya. Produksi kendaraan juga demikian, hampir setiap
triwulan selalu ada model baru yang ditawarkan oleh produsen. Tawaran wisata, kuliner, dan sebagainya dikemas begitu sangat menarik agar kita mau mencobanya. Semua menyerbu
kita sebagai calon konsumen. Maka saatnya untuk mengendalikan syahwat belanja
kita. Kalaupun gak punya duit untuk belanja, tetap juga harus menjaga syahwat
belanja ini. Banyaknya tindak kriminal bisa jadi karena kegagalan menjaga
sayhwat ini. Jangan sampai mudah tergoda oleh barang-barang baru yang belum
tentu kita butuhkan. Saat akan membeli suatu produk tertentu, pikirkan dulu apakah memang itu tuntutan
kebutuhan atau hanya sekedar trend. Kalau hanya karena trend lebih baik
ditunda dulu, karena nanti penggunaannya kurang optimal. Pedoman dalam
berbelanja adalah: belanja sesuatu yang penting, bukan yang penting
belanja. Ingat-ingat itu, karena kalau tidak akan jadi mubadzir (pemboros), sedangkan mubadzir
(pemboros) itu saudaranya syaithon (QS. Al-Kahfi: 27).
Wallahu’alam
bishowab
Sardana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar