Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid
dikelilingi para sahabat. Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba
Rasulullah berhenti sejenak dan berkata, “Akan datang kepada kalian
sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.”
Ucapan Rasulullah SAW ini serta-merta membuat
riuh para sahabat yang tengah berada di masjid. Mereka bertanya-tanya siapa
gerangan sang penghuni surga itu.
Apakah dia salah satu sahabat yang paling rajin
shalatnya atau yang paling rajin puasanya? Atau, yang paling banyak sedekahnya
atau mungkin yang tak pernah absen dalam jihad?
Tak lama, para sahabat pun melihat seorang
laki-laki Anshar dengan wajah basah. Air wudhu menetes dari
janggutnya. Tangannya menjinjing sepasang sandal jepit. Tak ada yang spesial
secara fisik.
Para sahabat pun bertanya-tanya alasan apa yang
membuat laki-laki tersebut menjadi penghuni surga. Tentu saja itu derajat
tinggi yang sangat diinginkan setiap Muslim, apalagi para sahabat Rasul. Mereka
semua menginginkan jaminan surga.
Keesokan hari belum terjawab rasa penasaran para
sahabat, Rasulullah kembali mengucapkan hal sama. “Akan datang kepada
kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.” Mereka pun kembali riuh
bertanya-tanya, siapa lagi yang dipastikan merasakan nikmat Allah yang kekal.
Namun, justru laki-laki dengan wajah basah wudhu
dan membawa sandal itu lagi yang muncul. Para sahabat semakin bertanya-tanya,
namun tak ada satu pun yang berani bertanya pada Rasulullah.
Hingga ketiga kalinya, Rasulullah mengucapkan hal
yang sama. Namun, tetap saja yang muncul laki-laki tadi. Para sahabat pun yakin
laki-laki itulah calon penghuni surga.
Tapi, tak satu pun sahabat yang mengetahui alasan
di balik rahmat Allah memasukkan laki-laki itu dalam golongan yang selamat pada
hari akhir.
Namun, mereka tetap merasa tak enak hati jika
menanyakannya hal itu kepada Rasulullah. Tinggallah para sahabat terus
dirundung keingintahuan. Salah satu sahabat yang amat penasaran, yakni Abdullah
bin Amr bin Ash, memilih inisiatif untuk mencari tahu sendiri.
Hari ketiga setelah Rasulullah mengucapkan hal
yang sama, Abdullah bin Amr bin Ash bermaksud mengikuti si laki-laki penghuni
surga. Ia pun membuntutinya hingga tiba di rumah laki-laki itu.
Abdullah berpikir bagaimana cara agar ia dapat mengetahui amalan apa yang mengantarkan pria itu meraih keistimewaan sebagai penghuni surga.
Abdullah berpikir bagaimana cara agar ia dapat mengetahui amalan apa yang mengantarkan pria itu meraih keistimewaan sebagai penghuni surga.
Ia pun kemudian menyapa pria tersebut dan
bermaksud meminta izin untuk menginap di rumahnya. Abdullah bermaksud tinggal
di sana agar dapat mengetahui amalan si penghuni surga.
“Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian
aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Jika boleh, aku ingin
tinggal bersamamu selama tiga hari,” ujar Abdullah kepada laki-laki itu.
Si penghuni surga tersebut dengan senang hati menyambut Abdullah. “Tentu, silakan,” ujarnya gembira. Maka, tinggallah Ibnu Amr di rumah calon penghuni surga itu selama tiga hari.
Si penghuni surga tersebut dengan senang hati menyambut Abdullah. “Tentu, silakan,” ujarnya gembira. Maka, tinggallah Ibnu Amr di rumah calon penghuni surga itu selama tiga hari.
Selama tinggal di sana, Abdullah mengamati setiap
ibadah dan amalan yang dilakukan si calon penghuni surga. Hari pertama,
Abdullah tak menemukan adanya amalan spesial dari laki-laki itu. Hari kedua,
ibadahnya masih sama, tak ada yang istimewa.
Hingga hari terakhir, Abdullah tak juga menemukan ibadah yang luar biasa dari si laki-laki yang berhasil meraih keutamaan surga tersebut.
Abdullah hanya melihat ibadah si laki-laki yang
biasa, hanya menjalankan ibadah wajib saja. Di sepertiga malam, pria itu
tak pernah bangun shalat Tahajud.
Meski Abdullah bin Amr selalu mendengar laki-laki
itu berzikir dan bertakbir acap kali terjaga dari tidur, pria itu baru bangun
saat waktu shalat subuh tiba.
Luput dari shalat malam, pria penghuni surga itu
pun tak menjalankan puasa sunnah. Namun, Abdullah juga tak pernah mendengar
pria itu berbicara, kecuali ucapan yang baik.
Tiga hari terlewat tanpa menemukan jawaban apa
pun. Bahkan, hampir saja Abdullah meremehkan amalan si penghuni surga
jika tak mendapat jawaban sebelum pamit.
Ketika izin pulang setelah menginap tiga hari,
Abdullah mengakui maksudnya untuk mencari keutamaan amalan si laki-laki itu
hingga beruntung menjadi salah satu penghuni surga Allah yang dipenuhi segala
kenikmatan.
Kepada pria itu Abdullah berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku. Tujuanku menginap di rumahmu adalah karena aku ingin tahu amalan yang membuatmu menjadi penghuni surga, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. Aku bermaksud dengan melihat amalanmu itu aku akan menirunya supaya bisa menjadi sepertimu. Tapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal kebaikan. Apakah sebenarnya hingga kau mampu mencapai sesuatu yang dikatakan Rasulullah sebagai penghuni surga?” tanyanya.
Kepada pria itu Abdullah berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku. Tujuanku menginap di rumahmu adalah karena aku ingin tahu amalan yang membuatmu menjadi penghuni surga, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. Aku bermaksud dengan melihat amalanmu itu aku akan menirunya supaya bisa menjadi sepertimu. Tapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal kebaikan. Apakah sebenarnya hingga kau mampu mencapai sesuatu yang dikatakan Rasulullah sebagai penghuni surga?” tanyanya.
Laki-laki itu pun tersenyum dan menjawab ringan,
“Aku tidak memiliki amalan, kecuali semua yang telah engkau lihat selama tiga
hari ini.” Jawabannya itu tak memuaskan hati Abdullah ibn Amr.
Namun, ketika Abdullah melangkah keluar dari rumah, laki-laki tersebut memanggilnya. Ia berkata kepada Abdullah, “Benar, amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun selainnya. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.”
Namun, ketika Abdullah melangkah keluar dari rumah, laki-laki tersebut memanggilnya. Ia berkata kepada Abdullah, “Benar, amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun selainnya. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.”
Mendengarnya perkataan tersebut, takjublah
Abdullah bin Amr bin Ash. Ia yakin sifat tak pernah iri, dengki, dan hasad
membuat pria itu masuk surga.
Ia pun malu karena banyak dari Muslimin yang tak
memperhatikan akhlak tersebut. Tak hanya ibadah semata yang mengantarkan
manusia merasakan surga Allah, tetapi juga amalan kebaikan, termasuk sifat dan
akhlakul karimah.
“Kemungkinan amalan inilah yang membuatmu mendapatkan derajat yang tinggi. Ini adalah amalan yang sangat sulit untuk dilakukan,” ujar Abdullah girang mendapat jawaban sekaligus pelajaran berharga.
Tak sia-sia Abdullah menginap tiga hari bersama sang calon penghuni surga. Karena, ia mendapatkan pelajaran yang amat patut dicontoh dirinya maupun Muslimin secara umum. Berdasarkan kisah tersebut, banyak pelajaran yang dapat dipetik bagi kita. Sifat hasad, baik iri ataupun dengki sangat dilarang dalam Islam dan tidak ada manfaatnya sama sekali buat kehidupan seseorang.
Sardana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar