Terkadang saat akan melaksanakan sholat berjamaah di masjid,
terutama saat sholat jum’at pengurus masjid tersebut mengumumkan kepada jama’ah
bahwa seusai melaksanakan sholat jum’at dimohon jama’ah untuk melakukan sholat
ghoib bagi almarhum/almarhumah fulan bin fulan atau fulanah binti fulan.
Bagaimana pandangan sejumlah ulama terhadap sholat ghoib ini, berikut
disampaikan beberapa artikel yang membahas tentang hukum sholat ghoib.
Ustadz Ammi Nur Baits
(Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
www.KonsultasiSyariah.com
Ketika di awal Islam, sebagian sahabat pernah melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Pengusaha Habasyah yang saat itu beragama Nasrani, yaitu Raja Najasyi, menerima mereka dengan baik. Bahkan beliau sampai menangis ketika mendengar sahabat membacakan Alquran untuk beliau. Setelah bergaul dengan sahabat, akhirnya beliau masuk Islam, namun beliau merahasiakanstatusnya sebagai muslim, mengingat banyak para pastur yang masih bercokol di sekitar beliau.
Ketika Raja Najasyi ini meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabat untuk melakukan shalat ghaib di Madinah. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Allahu a’lam
Al-Ustadz
Abu Karimah Asykari Al-Bugisy
http://darussalaf.or.id/
Yang dimaksud shalat ghaib adalah menshalati jenazah yang berada di lokasi lain, bukan di hadapan orang-orang yang menshalatinya. Para ulama’ berselisih pendapat tentang siapa saja yang dibolehkan untuk dishalati jenazahnya dalam bentuk shalat ghaib. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya shalat ghaib pada setiap yang meninggal baik yang telah dishalati secara langsung (bukan ghaib) maupun tidak, adapula yang berpendapat bahwa shalat ghaib khusus bagi Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam –dan tidak untuk yang lainnya. Dan adapula yang mengatakan dibolehkannya menshalati orang yang memiliki kedudukan yang terhormat dalam Islam. Dan yang rajih dalam masalah ini adalah disyari’atkannya menshalati jenazah seorang muslim yang tidak dishalati dalam bentuk shalat secara langsung di kampung tempat dia meninggal. Adapun bagi jenazah yang telah dishalati secara langsung maka tidak disyari’atkan melaksanakan shalat ghaib untuknya. Hal ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah – radhiyallaahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -mengumumkan kematian Najasyi (Raja negeri Habasyah) – rahimahullaahu ta’aalaa – pada hari beliau meninggal maka beliau keluar ke Mushalla (tanah lapang untuk tempat shalat) bersama para shahabat, lalu Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam – mengimami shalat bersama mereka dan beliau bertakbir empat kali.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – menshalati Najasyi disebabkan karena beliau tidak dishalati di negerinya dan beliau menyembunyikan ke-islamannya hingga wafat, dan Allah mengabarkan berita meninggalnya pada Rasul-Nya – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -. Dan telah banyak yang meninggal dari kalangan kaum muslimin di masa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – di berbagai daerah, namun tidak dinukilkan pelaksanaan shalat ghaib atas meninggalnya mereka . Kalaulah shalat ghaib disyari’atkan atas setiap yang meninggal tentunya beliau telah menshalati mereka.
http://darussalaf.or.id/
Yang dimaksud shalat ghaib adalah menshalati jenazah yang berada di lokasi lain, bukan di hadapan orang-orang yang menshalatinya. Para ulama’ berselisih pendapat tentang siapa saja yang dibolehkan untuk dishalati jenazahnya dalam bentuk shalat ghaib. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya shalat ghaib pada setiap yang meninggal baik yang telah dishalati secara langsung (bukan ghaib) maupun tidak, adapula yang berpendapat bahwa shalat ghaib khusus bagi Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam –dan tidak untuk yang lainnya. Dan adapula yang mengatakan dibolehkannya menshalati orang yang memiliki kedudukan yang terhormat dalam Islam. Dan yang rajih dalam masalah ini adalah disyari’atkannya menshalati jenazah seorang muslim yang tidak dishalati dalam bentuk shalat secara langsung di kampung tempat dia meninggal. Adapun bagi jenazah yang telah dishalati secara langsung maka tidak disyari’atkan melaksanakan shalat ghaib untuknya. Hal ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah – radhiyallaahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -mengumumkan kematian Najasyi (Raja negeri Habasyah) – rahimahullaahu ta’aalaa – pada hari beliau meninggal maka beliau keluar ke Mushalla (tanah lapang untuk tempat shalat) bersama para shahabat, lalu Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam – mengimami shalat bersama mereka dan beliau bertakbir empat kali.
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – menshalati Najasyi disebabkan karena beliau tidak dishalati di negerinya dan beliau menyembunyikan ke-islamannya hingga wafat, dan Allah mengabarkan berita meninggalnya pada Rasul-Nya – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -. Dan telah banyak yang meninggal dari kalangan kaum muslimin di masa Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – di berbagai daerah, namun tidak dinukilkan pelaksanaan shalat ghaib atas meninggalnya mereka . Kalaulah shalat ghaib disyari’atkan atas setiap yang meninggal tentunya beliau telah menshalati mereka.
Demikian pula meninggalnya orang-orang yang terbaik
setelah Rasullullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – seperti Abu Bakr Ash
Shiddiq, Umar bin Al Khathab, ‘Utsman dan ‘Ali – radhiyallaahu ‘anhum – namun
tidak dinukilkan adanya pelaksanaan shalat ghaib terhadap kematian mereka. Dan
ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebagian ahli Tahqiq dari
kalangan Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh
Al Albani – rahimahumullaah ta’aalaa -. Wallaahu a’lam bis shawaab.
Sardana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar