Sabtu, 04 April 2015

Tata Cara Shalat Gerhana


بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: KH. Dr. Muslih Abdul Karim, M.A

            Shalat gerhana, baik shalat gerhana matahari maupun gerhana bulan hukumnya sunnah muakkadah bagi laki-laki maupun perempuan, itulah menurut kesepakatan ulama. Para ulama sepakat bahwa salat gerhana matahari dilaksanakan secara berjamaah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang mengenai beberapa hal berikut ini.

Jumlah rukuk dalam setiap rakaat
Jumhur ulama mengatakan bahwa shalat gerhana ini dua rakaat dan dalam setiap rakaat ada dua berdiri, dua rukuk, dan dua sujud. Kecuali hanafi dan Kufiyyun, berpendapat bahwa shalat ini dilakukan sebagaimana shalat hari raya dan shalat jumat. Dari Aisyah R.A berkata,

“Terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah saw. Beliau keluar menuju masjid lalu berdiri dan bertakbir. Dan orang-orang ikut shalat bersama beliau. Beliau membaca bacaan yang panjang kemudian bertakbir dan rukuk dengan rukuk yang lama, namun lebih pendek dibandingkan bacaannya yang pertama tadi. Kemudian beliau bangkit dari rukuk dan mengucapkan “samiallahu liman hamidahu rabbana walakal hamdu”. Lalu beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang namun lebih pendek daripada bacaan yang pertama tadi, lalu beliau rukuk yang lama namun lebih pendek dari rukuk yang pertama tadi. Lalu beliau mengucapkan “Samiallahu liman hamidah rabbana walakal hamdu”, lalu beliau sujud. Di rakaat kedua, beliau melakukan hal yang sama seperti di rakaat pertama, hingga sempurna 4 rukuk dan 4 sujud. Matahari sudah tampak sebelum beliau menyelesaikan shalatnya. Lalu beliau berkhutbah, memulainya dengan pujian kepada Allah dengan pujian yang layak disandang-Nya, beliau bersabda: ‘Sesungghunya, matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Gerhana keduanya terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya sedang terjadi, segeralah lakukan shalat.’” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas ra menceritakan, “Suatu ketika terjadi gerhana matahari. Maka Rasulullah saw melakukan shalat. Beliau berdiri lama sekali, yang lamanya hampir sama dengan waktu membaca surat al-Baqarah. Lalu beliau rukuk lama sekali. Kemudian bangkit dan berdiri lama sekali, namun lebih pendek dari berdiri pertama. Lalu beliau rukuk lama sekali, namun lebih pendek dari rukuk yang pertama, lalu beliau sujud. Kemudian berdiri lama sekali (di dalam rakaat kedua, pen) namun lebih pendek jika dibandingkan berdiri pertama. Kemudian rukuk lama sekali namun lebih pendek dari rukuk yang pertama. Kemudian berdiri lama sekali namun lebih pendek dari berdiri pertama. Kemudian rukuk lama sekali tapi lebih pendek dari rukuk pertama lalu beliau sujud. Ketika shalat selesai, matahari telah terlihat terang lalu beliau bersabda: ‘‘Sesungghunya, matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Gerhana keduanya terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya sedang terjadi, maka ingatlah (berdzikirlah) kepada Allah swt.’” (H.R Bukhari dan Muslim)

Menurut Abdil Barr, bahwa kedua hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam masalah ini.

Maka, telah kami sebutkan di atas tentang pendapat jumhur ulama bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua rukuk dan dua sujud dalam setiap rakaatnya. Kecuali Hanafi, beliau berpendapat bahwa shalat khusuf adalah dua rakaat seperti shalat hari raya dan shalat jumat. Beliau berhujjah dengan hadits Nu`man bin Basyir,

صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في الكسوف نحو صلاتكم، يركع و يسجد ركعتين وكعتين، و يسأل الله حتى تجلت الشمس

“Rasulullah saw shalat khusuf bersama kami seperti shalatnya salah seorang di antara kalian, rukuk dan sujud, dua rukuk dan dua rukuk, lalu memohon kepada Allah hingga matahari terlihat jelas.” (An-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majjah)



Bacaan dalam shalat
Membaca Al-Fatihah hukumnya wajib dalam dua rakaat itu. Setelah itu membaca ayat al-Quran yang dikehendaki. Boleh dibaca dengan jahr atau sirri. Menurut Malik dan Syafi`i berpendapat bahwa membaca bacaan dalam shalat gerhana dengan sirri. Dan menurut Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Ahmad, Ishak berpendapat bahwa membaca bacaannya dengan jahr.

Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah karena adanya hadits-hadits berikut,

Hadits Ibnu Abbas yang telah kami tuliskan di atas, bahwa beliau membaca dengan sir,

فقام قياما نحو من سورة البقرة

“Maka beliau berdiri lama seperti membaca surat al-Baqarah”

Dan makna ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri,

قمت إلى جنب رسول الله صلى الله عليه و سلم فما سمعت منه حرفا

“Saya berdiri di sisi Rasulullah saw, dan saya tidak mendengar satu huruf pun darinya.”

Dan dalam hadits yang lain,

أنه عليه الصلاة و السلام قرأ في إحدى الركعتين من صلاة الكسوف بالنجم

“Bahwasanya Rasulullah saw membaca pada satu rakaat dalam shalat gerhana dengan surat An-Najm”

Adapun Ahmad dan Ishak berhujjah dengan hadits Sufyan bin Al-Hasan, dari Zuhri dari `Urwah dari Aisyah,

أن النبي عليه الصلاة و السلام جهر بالقراءة في كسوف الشمس

“Bahwasanya Rasulullah saw menjahrkan bacaannya dalam shalat gerhana”.

Akan tetapi Abu Umar berkata bahwa Sufyan bin Al-Hasan bukan perawi yang kuat. Akan tetapi madzhab yang berhujjahkan dengan hadits inipun berpendapat dengan menggunakan qiyas syibhi, maka mereka berkata: Shalat sunnah yang dilaksanakan dengan berjamaah pada siang hari maka wajib dijahrkan sebagaimana shalat hari raya dan istisqo.

Hanya saja Bukhari mengatakan, “Dibaca dengan jahr adalah pendapat yang paling tepat.”


Waktu pelaksanaan
Shalat khusuf dilakukan sejak gerhana mulai tampak sampai selesai. Shalat gerhana bulan sama dengan gerhana matahari. Hasan Basri mengatakan, “Terjadi gerhana bulan. Ketika itu Ibnu Abbas sebagai gubernur Basrah. Ia ke mesjid lalu menjadi imam shalat kami. Ia shalat dua rakaat, dan setiap rakaat dua rukuk. Lalu ia naik ke mimbar dan berkata, Aku shalat seperti shalat nabi yang kulihat.” (H.R Syafi`i dalam Al-Musnad)

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, jika terjadinya gerhana bertepatan dengan waktu yang dimakruhkan untuk shalat. Syafi`i berpendapat bahwa shalat gerhana boleh dilakukan di setiap waktu, pada waktu-waktu yang dilarang ataupun waktu-waktu yang tidak dilarang shalat.  Sedangkan menurut Abu Hanifah, tidak boleh melaksanakannya di waktu-waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat. Sedangkan menurut Malik diperoleh tiga riwayat, pertama, boleh dikerjakan pada segala waktu. Kedua, boleh dikerjakan pada selain waktu yang dimakruhkan. Ketiga, tidak boleh dikerjakan sesudah matahari condong ke barat, karena menyamai shalat hari raya.

Perbedaan pendapat ini timbul karena perbedaan pemahaman tentang jenis shalat yang dilarang pada waktu-waktu yang dilarang oleh Rasulullah saw untuk melaksanakan shalat. Karena hadits tersebut masih umum.

لا صلاة بعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس و لا صلاة بعد صلاة الفجر حتى تطلع الشمس

“Tidak ada shalat setelah shalat ashar sampai matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai terbit matahari” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat yang lain, dari Uqbah bin Amir berkata, “Rasulullah saw melarang kami melakukan shalat dan mengubur jenazah pada tiga waktu: ketika matahari terbit hingga bergerak naik, ketika tepat berada di tengah, dan ketika condong akan terbenam sampai terbenam.” (H.R. Jama`ah kecuali Bukhari)



Khutbah
Para ulama berbeda pendapat, apakah dalam shalat gerhana terdapat khutbah? Syafi`i berpendapat bahwa khutbah merupakan sunnah dari shalat gerhana. Sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada khutbah dalam shalat gerhana. Sedangkan menurut Hambali, pada satu riwayat beliau berpendapat tidak ada khutbah dan pada pendapat lain disunnahkan.

Perbedaan pendapat ini terjadi karena sebuah illat yang terdapat dalam hadits tentang khutbahnya Rasulullah saw kepada manusia setelah melaksanakan shalat gerhana yang diriwayakan oleh Aisyah. Maka, Syafi`i berpendapat bahwa khutbah Rasulullah ini merupakan suatu sunnah sebagaimana halnya dalam shalat hari raya dan shalat istisqo. Sedangkan menurut sebagiannya bahwa khutbah ini dikarenakan orang-orang pada saat itu mempercayai bahwa gerhana terjadi dikarenakan mati atau hidupnya seseorang.



Shalat gerhana bulan
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, apakah dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri? As-Syafi`i, Hambali, Ahmad, Abu Dawud, dan Jamaah berpendapat bahwa shalat gerhana bulan disunnahkan dengan berjamaah sebagaimana shalat gerhana matahari. Sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak disunnahkan, akan tetapi hendaknya dilaksanakan sendiri-sendiri.

Perbedaan pendapat ini terjadi karena berbedanya pemahaman dalam memahami hadits Rasulullah saw, “Sesungghunya, matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Gerhana keduanya terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya sedang terjadi, maka berdo`alah kepada Allah dan shalatlah sampai terang dan bershadaqahlah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Maka, yang berpendapat bahwa shalat yang diperintahkan dalam hadits di atas adalah shalat gerhana matahari dan bulan, dengan makna yang sama yaitu sifat salatnya sama dengan shalat gerhana matahari maka shalat tersebut dilakukan dengan berjamaah. Adapun bagi yang memahaminya dengan makna yang berbeda antara shalat gerhana matahari dan bulan maka tidak dilaksanakannya dengan berjamaah. Mereka berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun yang menerangkan bahwa Rasulullah saw melaksanakan shalat gerhana bulan bersama banyak orang.

Abu umar bin Abdil Barr beliau meriwayatkan, dari Ibnu Abbas dan Utsman bahwa keduanya melaksanakan shalat gerhana bulan dengan berjamaah, dua rakaat dan dalam setiap rakaat dua rukuk sebagaimana perkataan Syafi`i. Sayyid Sabiq mengatakan, “Dan yang paling afdhal adalah dilakukan dalam jamaah walaupun jamaah bukan merupakan syarat dalam melakukan hal tersebut, dan sebelum melaksanakannya hendaknya ada yang berseru, As-Shalaatu Jaami`ah.”

Dari semua pendapat yang ada, alangkah indahnya jika kita toleran dalam masalah perbedaan ini. Tidak menyalahkan satu sama lainnya, apalagi saling membid`ahkan atau mengkafirkan. Karena dengan jelas, para ulama pun menjelaskan mengapa mereka memilih pendapat tersebut. Oleh karenanya, kita tinggal meneliti dan mengambil satu pendapat yang menurut kita paling kuat, yang sekali lagi tanpa membid`ah-bid`ahkan pendapat orang lain, atau Naudzubillah sampai mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah ini (fiqh).

Wallahu A`lam.

Sumber:
http://konsultasikeluargasakinah.com/shalat-gerhana-beserta-khutbahnya-part-1/#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...