Kamis, 31 Maret 2016

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahun 2015 e-Filing Diundur

Dalam Undang-Undang KUP, Pasal 3 ayat (3) huruf b, mengatur bahwa batas waktu penyampaian untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu tersebut, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (Pasal 7 ayat (1)).

Dengan demikian apabila Wajib Pajak orang pribadi tidak menyampailan SPT Tahunan orang pribadi Tahun Pajak 2015 setelah tanggal 31 Maret 2016 akan dikenai sanksi denda sebesar Rp100.000,00.

Namun saat ini, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-48/PJ/2016 tanggal 30 Maret 2016 yang memperpanjang batas waktu penyampaian SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2015 dalam bentuk dokumen elektronik sampai tanggal 30 April 2016 dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian SPT.

Pengaturan tersebut tercantum pada diktum pertama Perdirjen Pajak Nomor 49/PJ/2016 sebagai berikut:

Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT tahunan untuk tahun pajak 2015 dalam bentuk dokumen elektronik setelah batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, namun tidak melewati tanggal 30 April 2016 dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan.

Sebagaimana ditulis m.republika.co.id, pihak Dirjen Pajak mengemukan berbagai alasan yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan ini. Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Dirjen Pajak, Mekar Satria Utama, mengatakan, perpanhangan pelaporan SPT on line melalui e-filing kurang banyak digunakan saat pelaporan ini dimulai Namun, memasuki tenggat akhir pelaporan SPT, program e-filing banyak digunakan masyarakat sehingga jaringan yang digunakan down.

"Jaringan sekarang sudah kita perbaiki. Jadi, kita perpanjang untuk pelaporan SPT melalui e-filing," ujar Mekar, Rabu (30/3).

Mekar menuturkan, Ditjen Pajak menyampaikan permohonan maaf terkait kendala teknis dalam sistem pelaporan tersebut yang mengakibatjan proses pelaporan SPT tahunan secara elektronik menjadi terhambat.

Bila begitu, maka Wajib Pajak yang menyampaikan SPT oramg pribadi Tahun 2015 secara online (e-filing) tidak melewati tanggal 30 April 2016, tidak dikenakan sanksi  denda Rp100.000,00

Namun untuk penyampaian SPT orang pribadi secara konvensional tidak diberikan perpanjangan waktu. Sehingga batas waktu penyampaian SPT tidak melalui e-filing tetap tanggal 31 Maret 2016.


Suasana pojok e-filing di KPP Pratama Purwakarta, selalu ramai didatangi Wajib Pajak yang ingin belajar sekaligus lapor SPT melalui e-filing.

Rabu, 23 Maret 2016

Hukum Merayakan Ulang Tahun Kelahiran


Assalamualaikum.wr.wb
Pak Ustadz, bagaimana hukumnya merayakan ulang tahun, sedangkan kita tahu budaya ulang tahun itu kan dari Barat, bukan kah yang menyerupai kaum kafir itu di anggap kafir juga. Mohon jawabannya, karena penting sekali bagi saya. Terima kasih.
Wassalamualaikum.wr.wb

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Perayaan ulang tahun atas kelahiran seseorang atau suatu organisasi tertentu tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu bila dilakukan, tidak bernilai ibadah.

Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang tahun yang diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun antara lain:

1. Ulang tahun bila sampai menjadi keharusan untuk dirayakan dianggap sebuah bid'ah. 
Sebab Rasulullah SAW belum pernah memerintahkannya, bahkan meski sekedar mengisyaratkannya pun tidak pernah. Sehingga bila seorang muslim sampai merasa bahwa perayaan hari ulang tahun itu sebagai sebuah kewajiban, masuklah dia dalam kategori pembuat bid'ah.

2. Ulang tahun adalah produk Barat Non muslim
Selain itu, kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata kehidupan.
Seolah pola hidup dan kebiasaan orang Barat itu mau tidak mau harus dikerjakan oleh kita yang muslim ini. Kalau sampai demikian, sebenarnya jiwa kita ini sudah terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita mereka kurang sreg kalau pada hari ulang tahun anaknya tidak merayakannya. Meski hanya sekedar dengan ucapan selamat ulang tahun.

3. Apakah Manfaat Merayakan Ulang Tahun?
Selain itu perlu juga kita renungkan sebagai muslim, apakah tujuan dan manfaat sebenarnya bisa kitadapat dari perayaan ini? Adakah nilai-nilai positif di dalamnya? Ataukah sekedar meneruskan sebuah tradisi yang tidak ada landasannya? Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang?
Pertanyaan berikutnya,adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu atau amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya? Pertanyaan berikutnya dan ini akan menjadi sangat penting, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?

Yang terakhir namun tetap penting, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini ‘harus’ dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah ‘sesuatu’ yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?

Kalau menimbang-nimbang pernyataan di atas, ada baiknya kita yang sudah terlanjur merayakan ulang tahun buat anak atau bahkan untuk diri kita sendiri melakukan evaluasi besar.

Sebaliknya, mungkin ada baiknya pemikiran yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Al-Qradawi tentang ulang tahun untuk anak. Misalnya, pada saat anak itu berusia 7 tahun, tidak ada salahnya kita ajak dia untuk menyampaikan pesan-pesan dalam acara khusus tentang keadaannya yang kini menginjak usia 7 tahun. Di mana Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat di usia itu.
Bolehlah dibuat acara khusus untuk penyampaian pesan ini, agar terasa ada kesan tertentu di dalam diri si anak. Bahwa sejak hari itu, dirinya telah mendapatkan sebuah tugas resmi, yaitu diperintahkan untuk shalat.
Nanti di usia 10 tahun, hal yang sama boleh dilakukan lagi, yaitu sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menambah atau menguatkan lagi perintah shalat. Kali ini dengan ancaman pukulan bila masih saja malas melakukan shalat. Bolehlah diadakan suatu acara khusus di mana inti acaranya menetapkan bahwa si anak hari ini sudah berusia 10 tahun, di mana Rasulullah SAW membolehkan orang tua memukul anaknya bila tidak mau shalat.
Kira-kira usia 15 tahun lebih kurangnya, ketika anak pertama kali baligh, boleh juga diadakan acara lagi. Kali ini orang tua menegaskan bahwa anak sudah termasuk mukallaf, sehingga semua hitungan amalnya baik dan buruk sejak hari itu akan mulai dicatat. Bolehlah pada hari itu orang tua membuat acara khusus yang intinya menyampaikan pesan-pesan ini.
Jadi bukan tiap tahun bikin pesta undang teman-teman, lalu tiup lilin, potong kue, bernyanyi-nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan kalau mau jujur, justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor pada tradisi bangsa lain.

Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Lalu mengapa kita bangsa Islam ini harus mengekor pada tradisi bangsa lain yang jauh lebih rendah?
Mungkin jawabannya yang paling jujur adalah... istafti qalbak.... Mintalah fatwa kepada hati nuranimu...

Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc



Sumber:
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1139910942&=hukum-merayakan-ulang-tahun.htm

Kamis, 17 Maret 2016

Wajib Pajak PP 46/2013 Terlanjur Dipotong/Dipungut Oleh Pihak Lain, Bagaimana Pengembalian Pajaknya?

Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu membawa perubahan besar dalam perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari 4,8 Milyar setahun.

Dalam ketentuan sebelumnya, berapapun peredaran bruto yang dimiliki oleh Wajib Pajak merupakan penghasilan bukan bersifat final sehingga penghasilan neto dihitung dengan besarnya penghasilan bruto dikurangi oleh pengurang (bagi Wajib Pajak) yang melakukan pembukuan, atau penghasilan bruto dikalikan dengan norma penghitungan penghasilan neto (bagi Wajib Pajak yang melakukan pencatatan). Apabila Wajib Pajak pada saat memperoleh penghasilan dari pihak lain mungkin dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan oleh pihak lain, antara lain pemotongan PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23. Bukti pemotongan tersebut merupakan kredit pajak yang akan menjadi pengurang dari pajak penghasilan yang terutang Wajib Pajak yang bersangkutan.

Dengan berlakunya PP No. 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi 4,8 Milyar setahun merupakan penghasilan yang bersifat final, yang besarnya Pajak Penghasilan adalah 1% dari peredaran bruto. Lantas bagaimana perlakuannya apabila Wajib Pajak terlanjur sudah dipotong oleh pihak ke lain baik berupa PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23.

Sebenarnya dalam ketentuan tersebut, untuk menghindari pemotongan pihak lain, Wajib Pajak dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan cara mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain. Atas permohonan pembebasan tersebut, Wajib Pajak akan mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) yang kemudian diserahkan kepada pihak pemotong/pemungut, agar pada saat memperoleh penghasilan tidak dipotong/dipungut oleh pihak lain.

Kembali ke judul di atas, bagaimana kalau sudah terlanjur dipotong/dipungut oleh pihak lain karena Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan SKB pemotongan dan/atau pemungutan? Akankah Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut tersebut hilang?

Duhai para Wajib Pajak PP 46 /2013 yang sudah terlanjur dipotong/dipungut PPh Pasal 22 atau Pasal 23 oleh pihak lain, jangan bersedih hati dulu ya. Mudah-mudahan uraian ini dapat memberikan harapan baik.

Berdasarkan huruf F butir 7 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peradaran Bruto tertentu, mengatur sebagai berikut:

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:

a. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
1) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan; atau 
2) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
3) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

b. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas import:
1) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau 
2) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

Begitulah bunyi ketentuannya, silahkan bagi Wajib Pajak yang sudah terlanjur dipotong/dipungut oleh pihak lain, memilih cara untuk mengembalikan PPh yang sudah terlanjur dipotong/dipungut tersebut dengan cara yang paling praktis.

Misalkan, Wajib Pajak rekanan pemerintah sehingga telah dipungut PPh Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan SSP, maka silahkan gunakan salah satu cara sesuai huruf a di atas.

Kalau Wajib Pajak terlanjur dipotong PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 oleh pihak lain dengan mendapatkan bukti pemotongan/pemungutan, maka silahkan gunakan salah satu cara sesuai huruf b di atas.

Termasuk juga, Wajib Pajak yang melakukan import barang, sehingga pada saat import harus membayar PPh Pasal 22 atas import, maka silahkan juga gunakan salah satu cara sesuai huruf b di atas.

Demikian pandangan pribadi atas beberapa kasus yang sering dikeluhkan Wajib Pajak PP 46, semoga bermanfaat.



Sardana

Rabu, 16 Maret 2016

Terkabulnya Do'a Pembayar Pajak

Hari ini, Rabu 16 Maret 2016, adalah hari yang begitu istimewa bagi warga KPP Pratama Purwakarta. Mengapa?

Seperti halnya Kantor Pelayanan Pajak yang lainnya, di setiap bulan Maret, biasanya dilakukan kegiatan pekan panutan bagi para wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar. Utamanya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Tahun 2015 yang paling lambat disampaikan akhir Maret 2016.

Karena panutan, maka figur utama sebagai magnet penarik wajib pajak untuk patuh adalah para kepala daerah setempat. Mereka adalah gubernur, walikota atau bupati, diharapkan akan mendorong para wajib pajak untuk segera melaporkan SPT-nya.

Namun di Purwakarta (emang) Istimewa, karena bukan hanya itu, bukan sekedar menampilkan sosok bupati yang jadi teladan. Ada tokoh lain yang tiba-tiba mengagetkan para undangan yang hadir. Dia kemudian jadi buah bibir.
Dia adalah seorang lelaki sepuh, bernama Aki Mad'i, yang sehari-hari bekerja sebagai petani ikan jaring apung di Waduk Jatiluhur. Meski penghasilannya yang terbatas, namun dirinya mulai rutin membayar pajak setiap bulan, walau hanya Rp5.000,00 sebulan.

Kisah hidup keseharian Aki Mad'i dan semangatnya membayar pajak tersebut didokumentasikan dalam sebuah film sosialisasi pajak berbahasa sunda yang diproduksi oleh Kantor Wilayah DJP Jabar I.
Seusai panayangan film tersebut di acara pekan panutan, bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, dalam pidatonya memberikan apresiasi yang istimewa buat Aki Mad'i atas keteladannya membayar pajak. Bahkan bapak bupati memberinya bantuan modal sebesar Rp25 juta bagi Aki Mad'i.

Barangkali ini adalah bentuk terkabulnya do'a dan harapan Aki Mad'i yang dia ucapkan dalam film tersebut. Sekitar di menit-detik ke 03.26-03.38, inilah yang diharapkan Aki Mad'i, "Maksad abdi mayar pajak, supados usaha tani abdi dina aya kalancaran kapayuna"
Lebih kurang artinya begini.. harapan saya bayar pajak, supaya usaha tani saya berjalan lancar ke depannya..

Aki Mad'i, do'amu telah terkabul, harapanmu telah terwujud. Modal dari bupati mudah-mudahan dapat memperlancar usaha ikan jaring apungnnya. Semoga hal ini juga menginspirasi bagi para wajib pajak lain atau bagi siapapun kalau membayar pajak ataupun berbuat baik didasari dengan harapan dan niat yang baik, maka pada saatnya balasan kebaikan itu akan tiba dengan cara yang mungkin berbeda, pada tempat yang mungkin juga berbeda dan bahkan mungkin dengan cara tak disangka-sangka.
Wallahu a'lam bi showab.

Aki Mad'i saat memperlihatkan bukti penyampaian SPT Tahunan didampingi Bupati Purwakarta, Kepala Kanwil DJP Jabar I, dan Kepala KPP Pratama Purwakarta.

Sardana


Liputan berita Aki Mad'i ini juga ada di
http://m.detik.com/news/berita/3166229/kisah-aki-madi-petani-ikan-yang-berperahu-demi-bayar-pajak-rp-5-ribu

Selasa, 08 Maret 2016

Kiat Menahan Marah


Bagian pertama menuliskan tentang pandangan agama (Islam) terhadap marah. Kemudian pada tulisan kedua, memaparkan berbagai dampak buruk dari marah. Maka di tulisan ketiga ini akan dijelaskan cara-cara untuk mendapat mengendalikan diri dari marah.

Dalam website salimah menerangkan bagaimana caranya akar kita manusia bisa menahan amarah. karena amarah merupakan sumber daripada keburukan yang merangsang setan untuk lebih sering mengajak  hal-hal yang tidak baik. dibawah ini merupakan cara-cara yang efektif dalam menahan amarah kita yang bergejolak dalam hati:


1.    Berlindung (kepada Allah azza wajalla) dari godaan syaitan yang terlaknat,
2.    Diam tidak berbicara.
3.    Apabila mampu meninggalkan tempat itu maka berdirilah lalu pergi.
4.   Bersikap tenang, yaitu duduk apabila sedang berdiri, atau tidur terlentang bilamana sedang duduk. 
5.    Berwudlu,
6.    Melaksanakan sholat.
7.    Menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
8.  Mengetahui derajat yang tinggi dan kedudukan istimewa yang akan diberikan kepada orang yang bisa menahan dirinya dari marah.
9.     Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika marah.
10.   Mengetahui bahwasanya menahan amarah adalah ciri orang yang bertakwa,
11.   Sadar ketika diingatkan.
12.   Mengetahui akibat buruk sikap marah.
13.   Selalu berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala
14.   Memberikan hak badan untuk beristirahat.


Sebuah kabar gembira bagi siapa saja yang terus berusaha menahan amarahnya, Rasulullah menjanjikan sebuah balasan yang begitu indah, akankah kita tertarik untuk mendapatkannya?
Jangan gampang marah.

مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ

“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
Semoga bermafaat
Diambil dari berbagai sumber
Sardana

Senin, 07 Maret 2016

Perlukah istri yang bekerja memiliki NPWP sendiri?

Kamis, 3 Maret 2016 - 11:06


Oleh: Anggrainy, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Banyak pengamat dan akademisi perpajakan yang berpendapat bahwa tax ratio Indonesia termasuk buruk diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Salah satu indikatornya adalah rendahnya tax coverage, yakni jumlah WP orang pribadi terdaftar dibandingkan dengan jumlah rumah tangga, yang hanya mencapai 42,75%. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak terus gencar menghimbau masyarakat untuk terus ber-NPWP. Pada akhir tahun 2015, hasil ekstensifikasi basis pajak tersebut diperkirakan telah mencapai 30 juta NPWP. Dari segi administrasi, jumlah ini sangat besar (meskipun secara persentase sangat kecil) sehingga dibutuhkan sumber daya yang ekstra besar untuk melakukan pengawasan seluruh Wajib Pajak.
Salah satu sasaran mudah untuk diberikan NPWP adalah karyawan, mengingat adanya ketentuan bahwa jika karyawan tidak ber-NPWP maka akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan 20% lebih tinggi dibandingkan karyawan yang ber-NPWP. Pada akhirnya, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pajak menjadi meningkat yang diikuti dengan timbulnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pembebanan pajak. Salah satunya adalah pembebanan pajak terhadap karyawati yang berstatus sebagai istri dan memiliki NPWP sendiri. Setelah digabungkan dengan penghasilan suami, ternyata perhitungan pajak suami menjadi kurang bayar karena dikenakan tarif pajak progresif. Bagaimana hal ini bisa terjadi ?


1. Penghitungan Pajak Suami-Istri Beda NPWP



Ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa ketika suami-istri memilih untuk hidup berpisah berdasarkan putusan hakim, maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajak dilakukan sendiri-sendiri. Sementara itu, ayat (3) mengatur bahwa jika suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya maka penghitungan pajaknya berdasarkan penghasilan neto suami isteri digabung dan besaran pajak yang harus dibayar oleh masing-masing suami-isteri dihitung secara proporsional. Hal ini berarti jika situasi tersebut terjadi, yaitu Wajib Pajak memiliki perjanjian tertulis pisah harta/penghasilan atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya, maka dalam penghitungan pajaknya dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto suami-istri tersebut untuk kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka.
Penggabungan penghasilan suami istri tersebut, memiliki resiko yaitu pengenaan tarif pajak yang lebih besar atas penghasilan gabungan suami-istri. Secara prinsip, Pajak Penghasilan bersifat progresif yang berarti bahwa semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula tarif pajaknya. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan pasal 17 UU PPh yang mengenakan tarif PPh sebesar 5%, 15%, 25% dan 30% untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak tertentu. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan kasus sebagai berikut :
Suami-istri yang keduanya bekerja dan tidak memiliki anak. Pada tahun 2015, Sang Suami memiliki penghasilan netto sebesar Rp. 200.000.000,- dan istrinya memiliki penghasilan netto setahun Rp. 150.000.000,-. Dalam hal istri memiliki NPWP sendiri dan ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya, maka penghitungan PPh terutangnya akan digabung sbb. :
Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Total Penghasilan Netto 350.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0) 75.000.000 (39.000.000 + 36.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 275.000.000
PPh Terutang setahun ( 5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 200.000.000) 30.000.000
(25% x 25.000.000) 6.250.000
Jumlah PPh gabungan 38.750.000

Jumlah PPh yang ditanggung oleh suami sebesar (200.000.000/350.000.000) x 38.750.000 = Rp 22.142.857,-. Sedangkan PPh yang ditanggung oleh istri sebesar (150.000.000/ 350.000.000) x 38.750.000 = Rp 16.607.143,-

2. Keluarga Sebagai Satu Kesatuan Ekonomis



Sebenarnya UU PPh telah mengatur secara jelas bahwa sistem pengenaan pajak Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, yang berarti bahwa hanya satu Wajib Pajak yaitu si suami sebagai kepala keluarga, yang dikenai Pajak Penghasilan. Sebagai konsekuensi kewajiban perpajakan ada di suami sebagai kepala keluarga, maka kewajiban ber-NPWP hanya ada pada suami. Oleh karena itu, penghasilan (atau kerugian) istri atau anak yang belum dewasa dianggap sebagai penghasilan suami sebagai kepala keluarga yang mewakili kewajiban sebagai Wajib Pajak atas keluarga tersebut. Hal ini berarti, penghasilan dan kerugian istri atau anak yang belum dewasa akan dianggap sebagai penghasilan dan kerugian suami, sehingga dikenai pajak bersama. Akan tetapi, jika penghasilan istri hanya diperoleh dari satu pemberi kerja dan tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka penghasilan tersebut tidak akan digabung dengan penghasilan suami dengan catatan penghasilan tersebut telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan PPh Pasal 21 UU PPh oleh pemberi kerja. Mekanisme pelaporannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dikelompokkan ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final.
Atas penghasilan mereka sudah di potong pajak oleh pemberi kerja dengan perhitungan sebagai berikut:

a) Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) 39.000.000
Penghasilan Kena Pajak 161.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 111.000.000) 16.650.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 19.150.000

b) Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (sendiri) 36.000.000
Penghasilan Kena Pajak 114.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 64.000.000) 9.600.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 12.100.000

Jika PPh-nya dijumlahkan diperoleh hasil sebesar Rp 19.150.000,- + Rp 12.100.000,- = Rp. 31.250.000,- atau lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penghitungan pada skema 1.

3. Prinsip Keadilan



Dalam pemungutan pajak harus memegang teguh asas keadilan, yang berarti bahwa pajak haruslah adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara. Menurut A.S. Finawati meskipun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 8 UU PPh, yang mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan orang pribadi, definisi tentang keadilan pajak menjadi sangat multi intepretasi. Sebagai penjelasan lebih lanjut, perlu kita kenal tentang keadilan vertikal dan keadilan horizontal.


A. Keadilan vertikal



Terdapat dua isu dalam pemungutan pajak yang menyangkut masalah inequality yaitu perlakuan tak setara terhadap perempuan (gender) dan ketidakadilan pembebanan pajak. Perjuangan kesetaraan gender, yang diawali oleh gelombang gerakan feminisme di Eropa, menuntut untuk mengubah unit pemajakan dari joint filling (digabung suami) menjadi lapor sendiri (income splitting). Konsep joint filling dianggap berpotensi merugikan perempuan karena ketidakadilan gender (wanita diberikan upah yang lebih rendah), tetapi dari sisi pajak dibebani lebih. Oleh karena itu, terjadi pergeseran ide dari joint filling ke income splitting dan perempuan menuntut dapat melaporkan sendiri pajaknya. Tujuannya adalah wanita harus dipersamakan setara secara hukum dan konsep pemajakan merupakan representasi dari pengakuan kesetaraan gender dalam hukum.
Indonesia sendiri (UU PPh) baru memperkenalkan konsep keteraan gender tersebut dalam UU PPh tahun 2008, tetapi pada dasarnya masih menganut garis besar aliran keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi dan joint filling. Pasal 8 ayat (1) masih menganut marital aggregation (penggabungan istri ke suami). Wanita kawin ini harus menggabungkan penghasilan dengan suami untuk dihitung PPh gabungan dan dipisah secara proporsional. Dilihat dari sisi keadilan vertikal terlihat sepertinya kurang adil karena akibat penggabungan menyebabkan terkena tarif progresif yang lebih tinggi.


B. Keadilan horizontal



Seperti telah disebutkan bahwa konsep keadilan bersifat absurd, sehingga dalam ekonomi lebih meyakini konsep fair (dibandingkan justice). Keadilan tidak bisa hanya dilihat secara vertikal saja namun horizontal. Artinya, jika dalam satu keluarga hanya satu sumber penghasilan hanya satu pihak saja yang bekerja (one breadwinner, misalkan hanya suami saja yang memperoleh penghasilan) maka pihak ini tidak diuntungkan karena hanya diperbolehkan memperhitungkan satu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saja. Dalam kasus di atas, misalnya sang suami bekerja dengan penghasilan netto setahun sebesar Rp 350.000.000,- dan istri tidak bekerja maka penghitungan PPh-nya adalah sebagai berikut :
Penghasilan Netto Suami 350.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) 39.000.000
Penghasilan Kena Pajak 311.000.000
PPh Terutang setahun ( 5% x 50.000.000) 2.500.000
. (15% x 200.000.000) 30.000.000
. (25% x 61.000.000) 15.250.000
Jumlah PPh yang dibayar 47.750.000

Dalam kasus di atas , berarti dengan total Penghasilan Kena Pajak yang sama, maka akan dikenai lapisan tarif yang sama juga. Jika digunakan konsep keadilan (justice) seharusnya jumlah pajak yang dibayarkan sama atau tidak lebih besar dibandingkan skema 1 atau 2.

4. Kesimpulan



Ketentuan perpajakan di Indonesia memberikan perlakuan khusus untuk istri yang bekerja, dalam bentuk penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 diperlakukan sebagai final dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami. Ini merupakan bentuk penghargaan bagi wanita yang bekerja karena akan menghasilkan pembebanan pajak yang paling minimal. Terlepas dari permasalahan keadilan pajak, ketentuan perpajakan di Indonesia telah memberikan beberapa alternatif dan cukup mengakomodir perkembangan dinamika masyarakat dewasa ini. Hasil simulasi membuktikan bahwa istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan penghasilannya sudah dipotong PPh Pasal 21, disarankan sebaiknya menggunakan NPWP suami. Dengan demikian, jika karyawati telah memiliki NPWP sebelum menikah, maka sebaiknya mengajukan penghapusan NPWP.


*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Sumber:
http://www.pajak.go.id/content/article/perlukah-istri-yang-bekerja-memiliki-npwp-sendiri

Minggu, 06 Maret 2016

Buruknya Saat Marah


Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, agama melarang pengikutnya “marah”. Karena dari berbagai aspek marah membawa dampak buruk bagi para pelakunya.

Berikut merupakan dampak secara langsung yang timbul saat marah. Psikolog Alima Phillip menerangkan beberapa dampak buruk akibat rasa amarah yang tak dikontrol. Tak hanya memengaruhi kejiwaaan, rasa marah juga dapat membahayakan kesehatan tubuh.


1.Efek langsung ke tubuh, Ketika kehilangan kontrol, tubuh kitalah yang menerima dampak langsungnya. Seketika tekanan darah meningkat dan irama napas menjadi cepat, secepat seperti tengah bersiap untuk berkelahi. Pada beberapa kasus, tekanan darah tinggi dapat menyebabkan sakit kepala mendadak. Dalam jangka panjang, dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Saat marah, suhu badan kita pun naik sehingga tubuh mudah berkeringat.
2.Letih, Ekspresi kemarahan tentu membutuhkan energi. Alhasil, setelah marah kita pun akan merasa letih. Dalam proses itu, hormon stres akan meningkat seakan-akan membuat perasaan bergejolak. Ketika marah, kita mungkin merasa memegang kendali sementara, tapi tanpa disadari hal itu justru menguras habis energi kita. Akibatnya, produktivitas dalam bekerja pun berkurang karena merasa letih.
3.Sulit tidur Dengan begitu banyaknya pikiran negatif di kepala dan kegelisahan yang kita rasakan, rasanya sulit untuk terlelap tidur. Apabila kita tertidur dalam kondisi kelelahan akibat marah pun, tidur tentunya tidak akan berkualitas. Ketika kita tidur dengan rasa marah, tidur pun tak akan nyenyak. Adapun kekurangan tidur akan menyebabkan pikiran negatif yang akan memicu emosi. Lebih lanjut, insomnia dan masalah tidur lainnya pun akan berdatangan seiring dengan perasaan emosi Anda yang berkelanjutan.
4.Depresi Terus-menerus menyimpan rasa marah dapat berujung pada depresi. Hal itu akan memicu serangkaian perilaku yang membahayakan kesehatan seperti merokok dan minum minuman keras. Terkadang, orang menggunakan amarah untuk meluapkan perasaan depresi dan ketidakberdayaan. Amarah bukanlah rasa alamiah yang menyehatkan. Maka itu, bila terus dirasakan, kesehatan kita pun akan terancam.
5.Terasing Kita memang terkadang dapat kehilangan kontrol diri, tapi bila terlalu serimg tentu akan berdampak pada aspek sosial kita dalam keseharian. Kita pun akan lebih nyaman berada sendirian ketimbang bergaul dengan orang lain. Dalam lingkungan kantor, bila tidak bersosialisasi, bawahan kita akan kurang menghormati dan atasan kita akan melihat kita sebagai orang yang tak dapat mengontrol emosi.
6.Mengambil keputusan yang salah Amarah dapat membuat kita tidak rasional. Kita pun terjebak dan kehilangan fokus dalam menghadapi suatu masalah. Nyatanya, saat seharusnya memutuskan hal terbaik dalam suatu maslah, dalam keadaan marah kita mungkin malah akan melakukan hal yang sebaliknya. Kita pun tak mampu melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan berujung dengan mengambil keputusan yang salah.

Sedangkan untuk dampak tidak langsung atau efek jangka panjangnya marah akan mengakibatkan beberapa penyakit yang membahayakan. dibawah ini adalah beberapa efek negatif dari marah pada tubuh Anda, seperti dilansir Boldsky.

1.Stres, Efek setelah marah adalah stres. Setelah kemarahan Anda mereda, Anda akan mengalami stres dan stres dapat menyebabkan penyakit serius seperti diabetes, depresi, tekanan darah tinggi dan penyakit Jantung.
2.Penyakit jantung, Kemarahan dapat memicu debaran jantung yang lebih cepat. Jika Anda cepat marah, detak jantung Anda akan terus meningkat dan akhirnya rentan terserang stoke.
3.Gangguan tidur, Ketika Anda marah, hormon akan bergejolak di dalam tubuh Anda. Itulah mengapa risiko kesehatan terburuk dari kemarahan adalah gangguan tidur. Jika tubuh Anda tidak mendapatkan istirahat, Anda bisa menjadi sasaran empuk bagi banyak penyakit. Sulit tidur bahkan dapat membuat Anda jadi gila.
4.Tekanan darah tinggi, Tekanan darah tinggi dapat disebabkan banyak hal dan kemarahan merupakan salah satu penyebab utamanya. Ketika Anda marah, tekanan darah Anda akan meningkat. Hal ini bisa menyebabkan banyak kerusakan pada jantung Anda.
5.Masalah pernapasan, Marah juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti asma. Seseorang akan merasa sulit bernapas ketika ia marah. Kemarahan juga dapat memicu serangan asma dan membuat napas seseorang terengah-engah.
6.Sakit kepala, Ketika Anda marah, pembuluh darah di otak akan berdenyut liar. Hal ini dapat memicu rasa sakit di kepala. Cobalah untuk tenang segera, jika Anda merasa nyeri di kepala Anda karena dipicu oleh perasaan marah.
7.Serangan jantung, Serangan jantung sering terjadi, jika seseorang menjadi sangat emosional, bersemangat atau marah. Kemarahan adalah salah satu penyebab paling berbahaya yang dapat memicu serangan jantung. Itulah sebabnya pasien jantung dilarang untuk terlalu sering mengekspresikan kemarahan mereka.
8.Stroke, Stroke otak terjadi ketika satu atau lebih pembuluh darah di otak pecah. Hal ini dapat terjadi ketika kemarahan membuat tekanan darah Anda naik sangat tinggi. Stroke otak dapat membunuh Anda atau melumpuhkan Anda seketika.  

Begitu banyak dampak buruk bagi para pemarah, maka perlulah untuk berusaha mencari kiat-kiat agar mampu mengendalikan emosi dan amarah kita. Tulisan selanjutnya, akan mengupas sedikit langkah-langkah sederhana yang diharapkan dapat mengendalikan diri kita untuk tidak marah.




Sardana

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...