Senin, 08 April 2013

Kecelakaan itu takdir















Pekan ini dikagetkan satu berita kecelakaan yang melibatkan Nisan Juke dan Daihatsu Xenia di tol Purbaleunyi KM 135-700 pada minggu 7 April 2013 yang menewaskan 5 dari 6 penumpang Xenia. Menurut pihak kepolisian setempat kecepatan Nissan Juke yang menabrak Xenia diperkirakan di atas rata-rata yang diperbolehkan. Nissan Juke kehilangan kendali hingga keluar jalur sebaliknya dan menabrak Daihatsu Xenia. Pengemudi Nisan Juke yang masih belia (18 tahun) harus duduk menjadi tersangka, dan bersiap menghadapi jerat tuntuntan karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan materiil dan menyebabkan orang meninggal, dengan ancaman 6 tahun penjara. Sedangkan satu-satunya korban selamat kini harus hidup sebatang kara, karena kedua orang tua, adik, kakek dan neneknya telah menjadi korban tewas dalam kecelakaan tersebut.

Lantas apakah ini:  takdir?

Mengenai takdir ini, terdapat 3 pendapat yang berbeda. Kelompok pertama, bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya disetir dan tidak mempunyai pilihan. Semua yang terjadi adalah kehendak Allah semata. Kelompok yang kedua, berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Tidak ada campur tangan Allah atas semua urusan manusia, kita sangat bebas apapun yang kita lakukan. Dan kelompok ketiga, berpendapat bahwa apa pun yang manusia lakukan semuanya ada dalam aturan-aturan Allah, Allah memiliki kewenangan dalam menentukan kita melalui aturan-aturan-Nya, sehingga kita pun memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu.

Kata takdir akan berhubungan dengan istilah qadha dan qadar. Ibnu Hajar berkata, "Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut". Qadha dan qadar selalu berhubungan erat. Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah swt sejak zaman azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah swt. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana/aturan dan perbuatan. Hukum sebab akibat atau disebut dengan sunatullah terhadap aturan Allah itulah qadha, sedangkan perbuatan dari aturan-aturan itu merupakan qadar. Besar-kecil perbuatan atau ikhtiar dalam mengikuti aturan tersebut akan menentukan hasil, karenanya hasil dari usaha inilah yang disebut dengan takdir.

Sebagai ilustrasi sederhana, kita paham bahwa semakin tua umur tali, akan semakin lapuk dan kemampuan untuk mengangkat dan menahan bebannya pun akan semakin berkurang. Hukum alam (sunatullah) memang demikian, inilah Qadha. Seandainya 10 tahun yang lalu, saat tali itu masih baru, tali itu mampu untuk mengangkat dan menahan benda seberat 100 kg selama 5 jam, maka sekarang tali tersebut mungkin hanya mampu menahan beban seberat 25 kg, itupun kurang dari 1 jam, karena sudah lapuk, inilah Qadar. Masalahnya adalah, kita tidak pernah tahu berapa beban yang sanggup tali tersebut tahan dan berapa lama, yang kita tahu, bahwa tali tersebut sudah tua dan lapuk. Karenanya, jika ingin selamat dari kecelakaan, ketika mengangkat benda dengan tali, atau ketika kita bergelantungan dengan tali, adalah dengan menghindari penggunaan tali yang tua tersebut. Kita tidak bisa menantang aturan Allah dengan nekat menggunakan tali tersebut dengan beban melebihi kemampuan tali. Karenanya, ketika kita nekat menggunakan tali tersebut, kemudian kita celaka, tidak bisa kita mengatakan,”Ini adalah ujian dari Allah…”, tidak seperti itu. Karena, Allah sudah memberikan kepada manusia akal untuk digunakan memahami aturan-aturan Allah tersebut, jika kemudian kita menentang akal kita sendiri, dan kemudian terjadi kecelakaan, itu akibat kelakuan kita sendiri. Bukan karena Allah yang melakukan. Karenanya, kita harus intorspeksi, tidak bisa kita menyalahkan Allah. Takdir kita celaka, karena perbuatan kita sendiri. Allah sudah tentukan Qadar pada tiap aturan tersebut. Karenanya, kita harus menggunakan akal kita untuk memahami aturan tersebut dan memilih ketika melakukan sesuatu.

Begitu juga dengan kendaraan, tentu memiliki aturan-aturan dalam penggunaannya. Kondisi jalan yang berbeda-beda ada batas toleransi kecepatan yang aman dibuat untuk keselamatan pengguna jalan tersebut. Ketika kita melanggar aturan yang berlaku, maka sesungguhnya kita tengah menuju area yang berbahaya buat keselematan kita. Padahal kita memiliki kemampuan untuk menghindari hal itu. Kasus kecelakaan mobil atau motor karena ban pecah, tabrakan, rem blong, semuanya mengikuti aturan yang ada. Ban pecah, bisa terjadi karena tertusuk paku, atau tekanan udaranya kurang, atau umur bannya sudah tua, jadi bukan Allah yang memecahkannya, aturan Allah lah yang membuat hal itu terjadi. Kasus kecelakaan lainnya, seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kapal tenggelam, semuanya pasti ada sebabnya, dan biasanya karena adanya sunnatullah yang dilanggar. Disitulah, kita seolah-olah diingatkan atau bahkan ditegur oleh Allah agar melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan dan ukuran yang telah ditetapkan. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]

Sahabat Rasulullah saw, Umar bin Khattab telah memberikan sebuah pelajaran berharga bagaimana kita memahami takdir.
Umar bin Khattab datang ke wilayah Syam untuk berperang. Ketika ia sampai di Sargh (dalam riwayat lain: atau Jabiyah), para pemimpin prajurit memberitakan kepadanya bahwa Syam terserang wabah penyakit.
Maka Umar mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah. Mereka menyelisihi pendapat Umar. ada yang berkata:“Jika kita telah datang untuk berperang mengapa kita harus kembali?”. Ada juga yang berkata: “Menurut kami engkau harus terus berjalan membawa para sahabat Rasulullah ke daerah yang terserang wabah ini.”
Ketika dikatakan bahwa Umar menginstruksikan seluruh tentara kaum muslimin untuk kembali esok hari, maka Abu Ubaidah berkata kepada Umar: “Apakah kita berlari dari takdir (ketentuan) Allah?” Umar menjawab:
”Ya, kita lari dari satu takdir (ketentuan) Allah kepada takdir (ketentuanNya) yang lain, bagaimana pendapatmu jika engkau akan berhenti di satu lembah yang memiliki dua alternative jalan, yang satu subur dan yang lainnya kering dan tandus. Jika engkau memilih yang subur maka engkau telah memilihnya dengan ketentuan Allah, tetapi jika engkau memilih jalan yang gersang dan tandus engkau katakan bahwa pilihanmu itu dengan ketentuan Allah?” (al bidayah wa nihayah hal 196 (edisi terjemahan bahasa Indonesia)).

Inilah konsep takdir sebagaimana dipahami Umar bin Khattab. Sehingga manusia bebas memilih jalan hidupnya walaupun itu tidak terlepas dari takdir dan pengetahuan Allah SWT. Alangkah indah Umar memahami sesuatu yang sebenarnya sangat rumit bagi sebagian besar manusia. Subhanallah…


Sardana








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...