Selasa, 17 November 2015

Mengenal Faktur Pajak Fiktif dan Penanganannya

       Kasus pengemplangan pajak yang paling marak terjadi di Indonesia adalah penggunaan faktur pajak fiktif. Sebenarnya kasus ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perpajakan nasional, namun karena terbilang masih susah untuk terdeteksi oleh petugas pajak, maka cara ini masih menjadi primadona dikalangan pengusaha untuk dapat menghindar dari pembayaran pajak. Faktur Pajak Fiktif sering disalah artikan. Maksud dari Faktur Pajak Fiktif adalah bukan karena fakturnya yang fiktif dari segi wujud, namun fiktif dari segi transaksi yang tertera dalam faktur tersebut.
           Menurut SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, dalam pasal 1 berbunyi; yang dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Sah adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan kata lain faktur pajak dikatakan fiktif apabila faktur pajak tersebut dikeluarkan oleh orang pribadi ataupun pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, maka faktur pajak tersebut juga dikatakan fiktif. Selain kedua klausal diatas, faktur fiktif juga dapat terjadi dalam hal perusahaan yang mengeluarkan faktur tersebut memang benar terdaftar sebagai PKP, namun perusahaannya fiktif.
           Modus yang digunakan adalah dengan mendirikan perusahaan serta kepengurusan perusahaan fiktif. Kemudian faktur pajak yang diterbitkan oleh perusahaan fiktif tersebut dijual ke berbagai perusahaan yang berniat menggunakan faktur tersebut sebagai pengurang jumlah pajaknya. Dengan kata lain, antara perusahaan fiktif dengan perusahaan rekanan yang membeli faktur tersebut hakikatnya sama sekali tidak terjadi transaksi apapun baik penyerahan BKP ataupun JKP namun pendiriannya ditujukan semata-mata hanya untuk menerbitkan faktur. Menurut Plt. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Wahju Tumakaka modus penerbit faktur pajak fiktif ini adalah menerbitkan faktur pajak tanpa didasari dengan transaksi yang sebenarnya, dengan kata lain hanya berdasarkan pesanan wajib pajak pengguna/pembeli. Pembeli dapat memperoleh faktur fiktif tersebut hanya dengan membeli sebesar 14%-30% dari nilai Daftar Pengenaan Pajak PPN (DPP PPN) yang tertera dalam faktur tersebut. Faktur pajak fiktif biasanya digunakan untuk mengurangi jumlah PPN terutang.
           Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPN dikenakan dalam setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP) mulai dari pembelian bahan baku, hingga penjualan barang jadi. Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual yang akan menjual barang dagangannya selanjutnya menerbitkan faktur pajak yang disebut sebagai Pajak Keluaran (PK) dan akan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM). Dengan mekanisme ini, pajak yang akan diterima oleh negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dan disinilah biasanya PKP bermain, dengan cara mengecilkan jumlah PK atau membesarkan jumlah PM sehingga pajak terutang menjadi lebih kecil dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
           Kerumitan dalam menangani kasus seperti ini adalah selain melibatkan banyak pihak juga didukung perusahaan fiktif yang terlampau banyak jumlahnya sehingga sangat sulit untuk terdeteksi. Menurut Fuad dari awal Januari sampai dengan pertengahan Agustus 2012 saja Pemerintah telah mencabut izin 196.000 perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak  dari target 300.000 perusahaan fiktif, dan angka ini akan bertambah setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan fiktif tersebut menyalahgunakan status PKP untuk dapat mengeluarkan faktur pajak. Begitu banyaknya perusahaan fiktif tersebut dikarenakan mudahnya prosedur untuk mendapatkan status perusahaan menjadi pengusaha kena pajak.
           Melihat hilangnya potensi penerimaan negara setiap tahun yang mencapai triliunan akibat faktur fiktif, pemerintah dalam hal ini diwakili DJP tidak hanya berdiam diri. Berbagai cara terus dilakukan guna melakukan pembenahan dalam upaya peningkatan pelayanan dan pengelolaan administrasi PPN. Upaya yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pada tahun 2012 DJP telah melakukan registrasi ulang bagi Pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak. Menurut PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012, Program registrasi ulang ini dimulai dari bulan Februari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012. Dalam program registrasi ulang ini, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia akan meneliti kembali mulai dari kebenaran kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha hingga mengecek keberadaan dan kesesuaian alamat pengusaha yang bersangkutan. Apabila dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pengusaha yang bersangkutan  telah tutup atau sudah tidak melakukan usaha lagi, maka status pengukuhannya sebagai PKP akan dicabut. Dengan dicabutnya status pegukuhan PKP bagi pengusaha yang bersangkutan, maka Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut tidak lagi dapat dikreditkan oleh pihak pembeli.
  2. Pada tanggal 1 Juni 2013, DJP mulai menerapkan aplikasi Elektronik Penomoran Faktur Pajak atau E-Nofa pada Kantor Pelayanan Pajak atas implementasi dari PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. E-Nofa adalah sistem atau aplikasi baru penomoran faktur pajak. Penerapan E-Nofa ini didasari dari maraknya penyalahgunaan faktur yang tata cara penomorannya dilakukan sendiri oleh PKP. Sehingga PKP bebas untuk menerbitkan berapapun faktur yang diinginkan. Kini dengan adanya E-Nofa, PKP tidak lagi leluasa untuk menomori fakturnya sendiri, melainkan tata cara penomoran faktur akan dijatah oleh DJP. Tidak semua PKP bisa mendapatkan E-Nofa, hanya pengusaha yang selama ini tertib membayar pajak serta diyakini keberadaanya saja yang akan mendapat jatah nomor faktur pajak ini.
  3. Pada bulan April Tahun 2014 DJP mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dalam pasal 1 ayat (1) batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak(PKP) atau wajib memungut dan menyetor PPN dinaikan menjadi Rp4,8 miliar setahun dari sebelumnya Rp600 juta setahun. Hal ini setidaknya dapat meminimalisir untuk membatasi jumlah faktur fiktif yang beredar. Dengan naiknya batasan omzet ini, maka bagi PKP dengan omzet dibawah 4,8 miliar dan memilih untuk menjadi non PKP, tidak diwajibkan lagi untuk membuat Faktur Pajak.
  4. Pada bulan September 2014 DJP telah membentuk Satgas Penanganan Faktur Pajak Yang Tidak Berdasarkan Nilai Transaksi Yang Sebenarnya. Ada tiga pertimbangan mengapa satgas ini dibentuk. Pertama penanganan faktur pajak selama ini belum menyentuh para pengguna faktur pajak bermasalah. Selama ini DJP lebih terfokus kepada para penerbit faktur pajak fiktif tersebut karena lebih mudah untuk mendeteksinya. Namun penanganan kepada penerbit selama ini ternyata tidak menghilangkan minat pasar untuk meminta atau membeli faktur bermasalah, oleh sebab itu kini DJP juga akan membidik para pengguna faktur pajak fiktif tersebut. Kedua ternyata modus-modus yang digunakan untuk mengedarkan atau menerbitkan faktur fiktif tersebut masih terus marak terjadi bahkan berkembang lebih canggih sekalipun DJP sudah melakukan perbaikan dari sisi administrasi, yakni menggunakan pendaftaran dan pendataan faktur pajak dengan skema pembatasan, ternyata masih mereka gunakan juga celah atau lubang faktur pajak ini agar bisa digunakan. Dan ketiga adalah untuk efisiensi waktu dalam hal penanganan kasus faktur fiktif,karena jika dengan pendekatan bukti permulaan (buper) dan penyidikan akan memakan waktu yang lama hingga bertahun-tahun terlebih harus pula ke sidang yang tidak dapat dipastikan kapan inkrahnya.
  5. Pada tanggal 10 Februari DJP melakukan soft launching aplikasi e-Faktur. E-Faktur adalah suatu sistem yang selama ini diidam-idamkan oleh DJP untuk dapat menangkal faktur pajak fiktif. Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, maka ditetapkan KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Dalam KEP-136/PJ/2014 tertuang e-Faktur terlebih dahulu akan diberlakukan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya di Jakarta mulai 1 Juli 2014. Kemudian setahun kemudian, tapatnya tanggal 1 Juli 2015, e-Faktur akan diberlakukan untuk seluruh KPP di Kantor Pelayanan Pajak Pulau Jawa dan Bali.  Dan pada pada tanggal 1 Juli 2016 serentak e-Faktur akan diberlakukan secara nasional. Jika selama ini Faktur Pajak baik penerbitan ataupun pelaporan dilakukan secara manual dan tidak terhubung dengan sistem DJP, misalnya untuk penjualan hari ini namun baru dilaporkan bulan juli, namun dengan e-Faktur hal tersebut tidak lagi dapat dilakukan. Faktur Pajak yang dikeluarkan PKP akan langsung terhubung ke database Ditjen Pajak. Misalnya saja laporan barang yang dijual hari ini akan langsung masuk ke sistem dan dapat direspon untuk memberikan faktur pajak. Dan hingga tahun 2016 jika masih ada PKP yang tidak menggunakan sistem ini dapat dicabut izinnya, serta apabila masih ada faktur manual yang beredar akan dianggap tidak sah.

PENUTUP

Meskipun berbagai cara telah digunakan DJP guna menghilangkan praktik faktur fiktif, penulis berkayakinan bahwa praktik faktur fiktif akan terus ada di negeri ini, karena hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di seluruh dunia. Disaat cara baru atau sistem terbaru dikeluarkan oleh DJP, pada saat itu pula lah para pengusaha nakal akan mencari cara untuk dapat menembus celah sistem baru tersebut. Namun dengan komit yang kuat untuk mentransformasi DJP kedalam sistem yang modern, semoga langkah-langkah yang ditempuh DJP setidaknya dapat meminimalisir terjadinya praktik faktur fiktif.

Semoga Bermanfaat. Terima Kasih






Oleh: Muhammad Irfan Mualana




Sardana

Sumber tulisan : 
http://mimaulana.blogspot.co.id/2015/01/sumber-httpwww.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...