Jumat, 08 Juli 2016

Ketetapan dan Fleksibilitas Islam

Ust. DR. Ahzami Samiun Jazuli, MA

Pengertian Tsabat dan Murunah
Tsabat bermaksud tetap dan teguh serta tidak berubah. Hal ini bermakna dalam ajaran Islam ada perkara-perkara yang dinyatakan secara tetap atau qat’ie, tidak boleh dipindah atau diubah dasar, prinsip dan perlaksanaannya.
Adapun Murunah bermaksud luwes yaitu ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam boleh berubah mengikut kesesuaian, namun prinsip asasnya masih tetap. Ajaran Islam juga adalah mudah dan tidak menyusahkan penganutnya.
Hal ini bermakna, Islam memberi kelonggaran dan kemudahan kepada umatnya melaksanakan perintah Allah Ta’ala. Kelonggaran tersebut melibatkan perkara-perkara furuk atau cabang atau perkara yang dinyatakan secara umum mengikut batasannya.
Prinsip-prinsip ajaran islam yang tetap tidak berubah adalah Akidah, Ibadah dan ketetapan syari’ah.
  1. Akidah
Akidah ialah kepercayaan dan keyakinan terhadap Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Kita wajib menyakini Allah Ta’ala sebagai Rabb yaitu mengakui dengan sepenuh hati bahwa Allah Ta’ala sajalah yang memiliki, menurunkan rezki, mencipta, mengatur alam ini dan seluruh makhluk serta mengakui bahwa hanya Allah Ta’ala  yang berhak disembah, ditaati, dan dipatuhi secara mutlak.
Dalam keyakinan ini tidak ada kelonggaran dan toleransi dengan sembarang unsur-unsur syirik yang bisa merusak kepercayaan kepada Allah Ta’ala seperti mempercayai penguasa lain yang mampu menyaingi kekuasaan Allah Ta’ala atau menyembah sesuatu selain daripada Allah Ta’ala.
Konsep tsabat dalam akidah dapat dilihat dalam kisah Rasulullah yang ditawarkan dengan pelbagai hadiah agar baginda bertoleransi dengan kepercayaan musyrikin Makkah, namun baginda tetap dengan keyakinannya.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ{4} وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ{5} لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ{6}
 “Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Untuk kamu agama kamu dan untukku agamaku”. (Al Kafirun: 4-6)
  1. Ibadah
Dalam ibadah wajib seperti shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, haji dan zakat tidak ada toleransi dalam rukun, syarat sah dan waktu perlaksanaannya. Perkara tersebut tetap tidak berubah kerana telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Ibadah shalat telah ditetapkan lima waktu sehari semalam dan tidak boleh dikurangkan jumlahnya. Ibadat puasa telah ditetapkan dalam blan Ramadhan dan tidak boleh dilakukan dalam bulan-bulan lain. Begitu juga ibadah haji dan zakat telah ditetapkan rukun-rukun dan syarat-syaratnya yang tidak boleh diubah.
Kita wajib menunaikan ibadah wajib ini walau dalam situasi dan keadaan apa sekalipun. Ketetapan ini tidak membebankan hamba-Nya ia mampu dilakukan oleh manusia.
“Wahai orang-orang yang beriman, kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang terdahulu daripada kamu supaya kamu bertaqwa”. (Al-Baqarah: 183)
  1. Ketetapan Syariah
Syariah Islam telah menetapkan pelbagai hukum untuk mengatur kehidupan manusia seperti hukum wajib, sunat, harus, makruh dan haram. Demikian juga dalam hukum jinayah (pidana), Islam telah menetapkan hukuman tertentu mengikut kesalahan. Ketetapan ini tidak berubah sehingga hari kiamat tiba.
Hukum halal dan haram suatu perkara seperti riba, makanan haram, dan suap-menyuap tidak boleh diubah hukum haramnya. Begitu juga hukum jinayah yang meliputi hukum qishas, hudud, dan ta’zir tidak boleh diubah dengan ditambah atau dikurangkan perlaksanaan hukumannya. Contohnya hukuman terhadap pencuri telah ditetapkan potong tangannya dan penzina yang belum menikah ditetapkan seratus kali cambukan. Pelaksanaan hukuman ini tidak boleh dikurangi atau diubah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ{130}
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu makan dan mengambil riba dengan berlipat kali ganda, dan hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 130)

Urgensi Adanya Tsabat dan Murunah

Dalam rangka untuk menampilkan karakteristik ajaran islam. Sebab ajaran islam adalah ajaran istimewa dan tidak bisa tertandingi oleh ajaran manapun. Kitab sucinya adalah kitab suci yang paling mulia, dan merupakan mu’jizat sepanjang masa yang tidak bisa tertandingi oleh kitab dan undang-undang manapun.
Dalam rangka memberikan pencerahan, kepekaan kepada umat islam akan fiqhul ikhtilaf (fiqih perbedaan). Sehingga umat ini lebih cerdas dan tidak semua perbedaan disikapi dengan antipati padahal sama-sama muslim. Harapannya, umat akan lebih dewasa dan lebih luas pemahamannya ketika mengetahui mana ajaran islam yang permanen dan fleksibel.
Dalam rangka mendidik masyarakat terutama para aktivis dakwah, para ustadz dan ustadzahnya, para mubaligh dari jama’ah dan ormas islam manapun yang diharapkan semuanya mempunyai pemahaman  mendalam, sehingga setiap aktivis dakwah terbuka, toleran dan tidak menutup diri hanya mengikuti pendapat gurunya bahkan siap untuk mengalah ketika jelas baginya bahwa kebenaran berada di pihak lain.
Kenapa demikian? Karena para ulama’ seperti Imam As Syafi’I Rahimahullah saja mempunyai pendapat yang dirubah. Kita kenal dengan Qaul Qadim (pendapat lama) dan Qaul Jadid (pendapat baru). Qaul qodim adalah fatwa Syafi’i tatkala ia masih berada di baghdad sedangkan qoul jadid adalah fatwa baru dari Imam Asy Syafi’i setelah pergi dari Baghdad, di Mesir tepatnya. Ini adalah satu indikasi akan flesibilitas hukum islam, dimana imam Syafi’I Rahimahullah, seorang imam madzhad memiliki dua pendapat yang berbeda terkait masalah fiqh. Apabila distingsi itu kita temukan dari dua ulama’ maka hal itu bisa kita katakan wajar namun manakala ikhtilaf itu terdapat pada satu imam, ini yang menjadi bahan renungan. Sehingga dapat kita fahami bahwa hukum itu tidak tetap, tetapi bisa berubah dan disesuikan dengan keadaan sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Asy Syafi’I Rahimahullah. Oleh itu, kita tidak boleh terburu-buru memvonis saudara kita dengan sesat dan sebagainya hanya karena perbedaan pendapat dan beda lembaga dan organisasi.


Kaidah Tentang Ats Tsabat Dan Murunah

Maksudnya adalah mana ajaran islam yang permanen dan mana hukum islam yang bisa fleksibel. Pemahaman islam yang tetap dan tidak berubah hingga hari kiamat adalah dalam hal ushul dan tujuan islam. Tetapi islam bersifat fleksibel di dalam hal furu’ dan sarana-sarananya. Kenapa islam seperti itu? Dengan fleksibelitas ini, islam akan layak, pantas, berguna dan bermanfaat sepanjang masa. Sehingga tidak ada alasan lagi bahwa islam tidak relevan pada zaman modern ini. Islam tidak akan bertabrakan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Mengapa harus ada ketetapan prinsip dan fleksibelitas dalam islam? Agar mampu mengatasi setiap perubahan dan bisa memecahkan masalah kekinian. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat, waktu dan juga pemikirannya.
Ajaran Islam memberi keleluasaan kepada pemeluknya, khususnya para ulama, untuk mengambil hukum bagi perkara-perkara baru, yang tidak muncul pada masa Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, baik menyangkut benda maupun perbuatan, yang sebelumnya belum ditetapkan.
Hal itu karena Islam datang untuk memecahkan segala perkara yang ada hingga Hari Akhir. Dengan keluasannya tersebut, Islam bisa memecahkan masalah-masalah baru yang senantiasa terus berkembang.
Dengan keluasaan hukum syariat ini, tuduhan bahwa syariat Islam ketinggalan zaman dan tidak bisa memecahkan masalah kekinian adalah tidak beralasan sama sekali bahkan menyesatkan. Dalam Islam ada syariat yang telah ditetapkan dan ada suatu “jalan terbuka” (pintu ijtihad).
لكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً
“…. untuk tiap orang dari kamu, Kami telah menciptakan  satu syariat dan satu jalan terbuka….”(Al Maidah: 48)
Namun, kita tidak boleh salah mengartikan kata “fleksibel”. Contohnya, pekerjaan seorang PSK itu bisa menjadi “halal” dengan alasan karena mereka melakukan itu untuk makan, sebab tidak ada orang yang mau memberi mereka makan. Tapi apakah semudah itu suatu yang haram bisa menjadi halal?
Menurut agama tidak!, islam memang agama yang fleksibel, tapi tidak semudah itu suatu yang haram menjadi halal! memang ada keterangan yang menjelaskan bahwa orang boleh memakan bangkai atau makanan dan minuman yang diharamkan sebab dalam keadaan terpaksa, tapi itu juga dengan catatan tidak ada yang dapat dimakan kecuali itu, dan jika ia tidak memakannya ia bisa meninggal, dan memakannya juga hanya sekedar kebutuhan saja (jika dengan satu suapan saja sudah dapat untuk menyambung hidup tidak boleh ditambah satu suapan lagi).
Bahkan sebenarnya masih ada jalan lain (pekerjaan yang halal) untuk mereka, seperti mencucikan pakaian, menjadi PRT, atau lain-lain. Mungkin mereka malu punya pekerjaan seperti itu, apalagi hasil yang didapat tidaklah seberapa. Jadi menurut syara’ pekerjaan PSK itu hukumnya tetap haram! Jadi, jangan sampai kita mudah terbujuk dengan ajaran-ajaran beberapa filosof islam yang menyimpang hanya karena ucapan mereka yang menarik.

Contoh-Contoh Penerapan Ats Tsabat Wal Murunah

Fleksibelitas Dalam Ibadah
Shalat adalah kewajiban tetap bagi setiap muslim yang dilakukan hingga kiamat dan cara melaksanakannya tidak berubah. Meskipun terdapat unsur-unsur al- Murunah dalam ibadat tersebut.
Misalnya perbedaan tentang mengeraskan basmalah atau tidak bagi imam ketika shalat jahr. Ini adalah persoalan murunah (fleksibelitas) dimana keduanya mempunyai dalil yang bersumber dari hadits-hadits nabi. Oleh karena itu, jangan sampai hanya karena sesuatu yang murunah, kemudian orang tidak mau ke masjid, karena dikritisi atau diserang hanya gara-gara perbedaan madzhab, padahal yang terpenting adalah bagaimana masjid ini menjadi makmur.
Seorang yang mampu shalat dengan berdiri, wajib baginya shalat dengan berdiri namun manakala ia mendapati kesusahan maka boleh saja shalat dengan duduk bahkan berbaring sekalipun. Seorang yang mampu berpuasa misalnya, wajib baginya untuk berpuasa namun manakala haraj (kondisi yang menyulitkan) mendapatinya maka tidaklah wajib baginya berpuasa pada waktu itu dengan catatan ia masih wajib mengganti puasanya pada hari yang lainnya atau dengan membayar fidyah.
Contoh Dalam Dakwah
Berdakwah hukumnya adalah wajib. Berdasarkan ayat berikut:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: 125)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.  (An Nahl: 125)
Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa pada dasarnya setiap perintah Allah dihukumi wajib, kecuali ada alasan yang memalingkan dari hukum wajib. Terlepas dari perbedaan para ulama’ mengenai dakwah hukumnya fardhu ‘ain atau kifayah. Tapi yang jelas, seluruh kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan semuanya harus berdakwah mengajak manusia kepada Allah, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Ini adalah sebuah ketetapan.
Namun dalam hal sarana dakwah adalah perkara murunah (keluwesan/fleksibel). Misalnya; pemakaian pengeras suara dan sebagainya. Supaya agar jangan sampai karena hanya berbeda sarana, berbeda juga hatinya, sehingga umat islam berjuang sendiri-sendiri dengan golongannya masing-masing. Akhirnya umat islam yang besar menjadi kecil dan kecil, padahal cuma berbeda dalam hal sarana.
Ada orang yang menginginkan dakwah bertambah luas dan signifikan sehingga terjadi percepatan dakwah. Seperti berdakwah melalui televisi. Hal ini tentunya menjadikan jama’ah dakwah semakin bertambah dan banyak.
Ataupun berbeda dalam hal skala prioritas dakwah. Ada yang berprioritas mendirikan pesantren-pesantren dan mendalami kitab-kitab klasik ulama salaf, atau ada yang memprioritaskan membangun sekolahan dan perguruan tinggi sehingga bisa bersaing dengan perguruan tinggi sekuler dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan keleluasaan ajaran islam, selama yang dilakukan tidak bertentangan dengan alquran dan as sunnah.
Dalam Aqidah dan Hukum Syari’ah
Prinsip Tsabat terdapat dalam bab ‘Aqidah atau Syariah. Walaupun demikian, dalam pelaksanaannya ia bisa berubah. Dari aspek ‘Aqidah misalnya, kita meyakini keesaan Allah Ta’ala dan haram serta bisa menyebabkan kepada kemurtadan jika seseorang muslim tunduk kepada berhala. Tetapi dalam keadaan terpaksa ia boleh melakukannya, namun hatinya harus tetap mentauhidkan kepada Allah Ta’ala, maka ia tidak berdosa dan tidak keluar dari islam.
Kita juga dapati contoh dalam sejarah, ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ditawari sebuah kompromi dalam masalah aqidah dengan menyembah Allah selama setahun dan setahun berikutnya menyembah berhala, Allah menjawabnya dengan menurunkan surat Al Kafirun yang menjelaskan akan keteguhan prinsip dalam hal keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Ini berbeda pada saat Rasulullah mengadakan perjanjian di Hudaibiyyah. Kita dapat melihat sikap fleksibilitas Rasulullah tampak jelas dalam gambaran yang paling indah. Hal itu tampak pada ucapan beliau di hari itu:
“Demi Allah, tidaklah kaum Quraisy mengajakku hari ini kepada suatu garis kerjasama dimana mereka memintaku untuk menyambung silaturahmi kecuali saya memberikannya kepada mereka.”
Penerimaan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam untuk menulis naskah perjanjian damai: “Dengan nama-Mu ya Allah” (Bismikallahumma) sebagai ganti dari “Dengan nama-Mu Ya Allah yang maha pengasih lagi Maha Penyayang” (Bismillahirrahmanirrahiim) yang merupakan pengatasnamaan yang ditolak oleh kaum Quraisy.
Juga penerimaan beliau untuk menghapus kata Rasulullah setelah namanya yang mulia, pada saat Ali Radihallahu Anhu justru menolak untuk menghapusnya sampai Rasulullah sendiri yang menghapusnya. Serta pada penerimaan beliau terhadap syarat-syarat yang diajukan oleh Quraisy pada perjanjian tersebut.
Rahasia dari fleksibilitas dalam hal ini serta keteguhan prinsip dalam sikap sebelumnya adalah; bahwa sikap-sikap pertama berkaitan dengan prinsip dan aqidah, maka kompromi dalam hal ini tidak dapat diterima, sementara pada sikap yang terakhir adalah berkaitan dengan urusan parsial, politik temporal ataupun penampilan lahir simbolis, maka beliau bersikap longgar dan fleksibel.
Dalam aspek syari’ah misalnya, kita diharamkan memakan bangkai dan apa-apa yang diharamkan. Tapi, jika terpaksa karena kelaparan, maka pada masa itu tidaklah berdosa karena ia bertujuan hendak menyelamatkan nyawa.
Wajibnya menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan muslim. Tetapi model-modelnya boleh berbeda. Begitu juga pembelaan terhadap islam dan umat islam adalat tsabit (tetap) dan wajib hukumnya. Namun pembelaan terhadap islam dan umat islam bisa fleksibel. Silahkan membela islam dengan hartanya, jiwa raganya, waktunya, ilmunya, doanya dan lain sebagainya. Sesuai kemampuan dan potensi yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Namun mereka yang membela islam dengan harta dan jiwanya mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikianlah kiranya penjelasan mengenai keteguhan prinsip islam dan fleksibelitas Islam dalam kehidupan beragama. Sehingga islam mudah diterapkan dalam kondisi apapun dan dimanapun juga.
Wallahu Ta’ala A’lam

Sumber Tulisan:
http://darussalam-online.com/ketetapan-dan-fleksibilitas-islam/


1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...