Selasa, 22 Desember 2015

Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya : Objek dan Pengenaannya

Selama ini kita lebih mengenal objek Pajak Bumi dan Bangunan memiliki 5 sektor, antara lain: Perkotaan, Pedesaan, Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan. Dua sektor yaitu Perkotaan dan Pedesaan biasa disebut Sektor P2, sejak 2014 yang lalu telah seluruhnya menjadi Pajak Daerah untuk kabupaten/kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Sedangkan sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan disebut Sektor P3 tetap sebagai Pajak Pusat yang dikelola oleh DJP.

Namun sesungguhnya saat ini juga terdapat sektor lainnya yang dikelola oleh DJP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, dijelaskan bahwa objek pajak sektor lainnya adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan selain objek pajak sektor perkebunan, sektor perhutanan, dan sektor pertambangan yang tidak berada dalam wilayah kabupaten/kota.

Lebih lanjut mengenai PBB sektor lainnya diatur pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2015 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya. Objek PBB sektor lainnya meliputi :
Bumi berupa perairan lepas pantai yang digunakan untuk:
1. Usaha perikanan tangkap;
2. Usaha pembudidayaan ikan;
3. Jaringan pipa;
4. Jaringan kabel telekomunikasi;
5. Jaringan kabel listrik; atau
6. Ruas jalan tol
Adapun Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi sebagaimana dimaksud di atas.

Perairan lepas pantai sendiri meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, laut pedalaman, Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam batas landas kontinen Indonesia.

Sedangkan pengertian subjek dan wajjb pajak PBB sama seperti umumnya, yaitu subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB sektor Lainnya. Subjek pajak sebagaimana di atas yang dikenakan kewajiban membayar OBB sektor lainnya menjadi Wajib Pajak PBB sektor lainnya.

Dasar Pengenaan PBB Sektor Lainnya

Seperti pada umumnya, dasar pengenaan PBB adalah NJOP. NJOP bumi diperoleh dari hasil perkalian luas bumi dengan NJOP bumi per meter.

Luas bumi untuk:

  • Usaha perikanan tangkap adalah jumlah kapal kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal;
  • Usaha pembudidayaan ikan merupakan luas berdasarkan izin;
  • Jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi, dan jaringan kabel listrik, merupakan hasil perkalian antara panjang pipa atau kabel dengan lebar areak pengaman;
  • Ruas jalan tol merupakan antara jumlah tapak dengan luas pondasi per tapak.


Sedangkan nilai bumi per meter persegi sebagai berikut:

  • Usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan dalam hal terdapat hasil produksi, merupakan pembagian nilai bumi dengan luas bumi. Nilai bumi tersebut ditentukan sebesar pendapatan bersih produksi dalam satu tahun sebelum pajak dikalikan dengan Angka Kapitalisasi*. Dalam hal tidak terdapat hasil produksi, nilai bumi per meter ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
  • Jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi, jaringan kabel listrik, dan ruas jalan tol, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.


Adapun NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter. Nilai bangunan per meter merupakan hasil pembagian antara jumlah nilai bangunan dengan jumlah luas bangunan. Nilai bangunan ditentukan dengan sebesar biaya pembangunan baru dikurangi penyusutan. Biaya pembangunan baru merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh bangunan pada saat penilaian.



*Angka Kapitalisasi ditetapkan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak



Sardana

Sumber:
1. PMK No. 139/PMK.03/2014
2. Perdirjen Pajak No. PER-20/PJ/2015

Sabtu, 19 Desember 2015

Hukum Pajak Menurut Islam


Bismillahirrahmaanirrahiim...

Hukum pajak dalam perspektif syariah (fiqh) Islam. Ulama klasik dan kontemporer berbeda pendapat dalam menyikapi hukum pajak. Apakah boleh (halal) atau haram. Dengan berbagai landasan hukum dalil Quran hadits yang mendasari masing-masing pendapat.

1.>>Kalangan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram itu didomonasi oleh ULAMA WAHABI !



 2.>> PENDAPAT YANG MENHALALKAN PAJAK

Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal. Baik ulama mutaqaddimin (ulama klasik), maupun ulama muta'akhirin (kontemporer).

A. ULAMA KLASIK [MUTAQADDIMIN]
Madzhab Syafi'i: Imam Ghazali dalam kitab المستصفى من علم الأصول (I/426) menyatakan bahwa memungut uang selain zakat pada rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan negara baik untuk perang atau lainnya. Akan tetapi kalau masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.

Madzhab Hanafi: Muhammad Umaim Al-Barkati dalam kitab قواعد الفقه dan kitab حاشية رد المحتارmenyebut pajak dengan naibah (jamak, nawaib). Dia berpendapat bahwa naibah boleh kalau memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.

Madzhab Maliki: Al Qurtubi dalam kitab الجامع لأحكام القرآن (II/242) mengatakan bahwa ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain zakat apabila dibutuhkan. Berdasarkan Al Quran وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ (Al Baqarah 2:177).

Madzhab Hanbali: Ulama madzhab Hanbali juga membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah ( الكلف السلطانية) . Bahkan mereka menganggapnya sebagai jihad dengan harta. Ibnu Taimiyah dalam الفتاوى menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan jihad harta. Ibnu menyatakan:

وإذا طلب منهم شيئًا يؤخذ على أموالهم ورءوسهم، مثل الكلف السلطانية التي توضع عليهم كلهم، إما على عدد رءوسهم، أو على عدد دوابهم، أو على أكثر من الخراج الواجب بالشرع، أو تؤخذ منهم الكلف التي أحدثت في غير الأجناس الشرعية، كما يُوضع على المتابعين للطعام والثياب والدواب والفاكهة وغير ذلك،
يُؤخذ منهم إذا باعوا، ويُؤخذ تارة من البائعين، وتارة من المشترين

B.) ULAMA KONTEMPORER [MUTAAKHIRIN]

Ulama fiqih kontemporer yang membolehkan pajak antara lain Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi dengan argumen sebagai berikut:

1. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (تفسير المنار) V/39 dalam menafsiri Quran surat An-Nisai 29 demikian:

ذلك بأن الإسلام يجعل مال كل فرد من أفراد المتبعين له مالا لأمته كلها، مع احترام الحيازة والملكية، وحفظ حقوقها؛ فهو يوجب على كل ذي مال كثير حقوقًا معينة لصالح العامة، كما يوجب عليه وعلى صاحب المال القليل حقوقًا أخرى لذوي الاضطرار من الأمة، ويحث فوق ذلك على البر والإحسان
Arti kesimpulan: ... adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan.

2. Yusuf Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menyatakan

ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
Arti kesempulan: Negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.

3. Mahmud Syaltut, mufti Al-Azhar Mesir dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra (الفتاوى الكبرى) menyatakan bahwa

جاز له وقد يجب، أن يضع عليهم من الضرائب ما يحقق به تلك المصالح دون إرهاق أو إعنات
Artinya: ... boleh bagi hakim memungut pajak dari orang kaya untuk kemaslahatan dengan tanpa berlebihan.

4. Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah lebih jauh menyatakan bahwa kalau pajak tidak terdapat pada era Nabi itu disebabkan karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalinantara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara.

#KESIMPULAN HUKUM PAJAK MENURUT ISLAM#

Pajak hukumnya HALAL menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer.
Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh Nabi.

Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus.
Dan karena itu, haramnya mukus tidak bisa dijadikan dalil analogi (qiyas) dengan haramnya pajak yang berlaku saat ini.

::PENGERTIAN MUKUS DAN MAKIS::

Secara etimologis, mukus bermakna pengurangan atau pendzaliman.

Definisi mukus dan makis secara terminologis adalah:

الضريبة التي يأخذها الماكس وهو العشار -ثم قال- وفي شرح السنة: صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر
Artinya: Mukus adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat.

Menurut Imam Nawawi, mukus hukumnya haram.

Berdasar hadits sahih riwayat Muslim: والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
Arti kesimpulan: seorang perempuan pezina yang betul-betul bertobat itu lebih baik darilpada pemungut mukus.

Apakah pajak atau pungutan yang umum terjadi saat ini di Indonesia atau di negara lain termasuk mukus atau tidak?
Menurut Yusuf Qardhawi, pajak yang sekarang berlaku bukan termasuk mukus. Al-Haitsami dalam مجمع الزوائد menyatakan bahwa makis atau orang yang melakukan mukus adalah:

يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين، وقد يدل لذلك ما جاء عن بعض الرواة من تفسير "العاشر" بالذي يأخذ الصدقة على غير حقها
Artinya: Pelaku mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) atau mengurangi uang yang semestinya jadi hak penerima zakat (Al-Haitsami, Mu'jamuz Zawa'id, III/87).



Sardana

Sumber:
http://www.fikihkontemporer.com/2012/07/hukum-pajak-menurut-islam.html?m=1

Selasa, 15 Desember 2015

Pajak Menurut Syari'ah

Oleh Gusfahmi,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kata Pajak dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 74.499 kata atau 325.345 suku kata tidak ditemukan satu pun kata “pajak”, berbeda halnya dengan kata Zakat yang terdapat sebanyak 30 kali. Menurut Defano, kata “pajak” berasal kata “Ajeg”(bahasa Jawa) yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu (Soni Defano, 2006). Kata pajak jelas bukan berasal dari bahasa Arab, karena huruf “p” tidak ada dalam konsonan Arab. Untuk menyebut “Padang” misalnya, orang Arab mengatakan “Badang”, “Liverpool“ disebutnya “Libirbuul”. Namun demikian, dalam terjemahan Al-Qur’an terdapat 1x kata “pajak”, yaitu pada terjemahan QS. At-Taubah [9]:29,”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS.[9]:29). Kata ”Jizyah” pada ayat tersebut diterjemahkan dengan “Pajak” (lihat kitab Al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung). Walau demikian, tidak semua kitab Al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi “Pajak” melainkan tetap Jizyah saja, misalnya Kitab Al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen  Agama RI cetakan Kerajaan Saudi Arabia atau cetakan CV Diponegoro Semarang.
Pajak dalam Islam disebut Dharibah 
Padanan kata yang paling tepat untuk pajak menurut Sistem Ekonomi Islam sebetulnya bukan Jizyah karena Jizyah artinya kehinaan. Menurut Khalifah Umar bin Khattab sungguh tidak pantas kaum Muslim dipungut  dengan kehinaan karena segala aktifitas Muslim yang mengikuti perintah Allah SWT termasuk dalam nilai ibadah yang berarti kemuliaan. Oleh sebab itu, Pajak bagi kaum Muslim tidak dapat diartikan kehinaan, rendah atau berkurang. Rasulullah SAW tidak pernah menyebut apalagi mengenakan Jizyah untuk kaum Muslim. Jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan “upeti” (pajak kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) dan Majusi (kaum penyembah api), sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafe’I dalam Kitab Al-UmmImam Malik dalam kitab Al-Muwatha’, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah, Sa’id Hawwa dalam kitab Al-Islam, Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’atul Fatawa, dan Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam al Sulthaniyah.
Padanan kata yang paling tepat untuk Pajak adalah Dhariibah(الضريبة), yang artinya beban. Mengapa disebut Dharibah (beban)?  Karena Pajak merupakan kewajiban tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah Zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat (Qardhawi, Fiqhuz Zakah, Bab Zakah wa Dharibah,1973). Secara etimologi, Dharibah, yang berasal dari kata dasar ضرب، يضرب، ضربا (dharaba, yadhribu, dharban) yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain. Dalam Al-Qur’an, kata dengan akar kata da-ra-ba terdapat di beberapa ayat, antara lain pada QS. Al-Baqarah [2]:61:......وضربت عليهم الذلة والمسكنةyang artinya,”lalu ditimpahkanlah  kepada mereka nista dan kehinaan. Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya (ism) adalah Dharibah (ضريبة), yang dapat berarti beban. Dharibah adalah isim mufrad(kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah Dharaaib (ضرائب). Dalam contoh pemakaian, jawatan perpajakan di negara Arab disebut dengan maslahah adh-Dharaaib (مَسلحَةَ الضرائب).
Ada juga ulama atau ekonom Muslim dalam berbagai literatur menyebut pajak dengan padanan kata/istilah Kharaj(pajak tanah) atau ‘Ushr (bea masuk) selain Jizyah (upeti), padahal sesungguhnya ketiganya berbeda dengan Dharibah. Objek Pajak (Dharibah) adalah al-Maal (harta/penghasilan), objek Jizyah adalah jiwa (an-Nafs), objek Kharaj adalah tanah (status tanahnya) dan objek ‘Ushr adalah barang masuk (impor). Oleh karena objeknya berbeda, maka jika dipakai istilah Kharaj, Jizyah, atau ‘Ushr untuk pajak akan rancu dengan Dharibah. Untuk itu, biarkanlah Pajak atas tanah disebut dengan Kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk pajak yang objeknya harta/penghasilan adalah Dharibah.
Pendapatan Negara Menurut Islam
Pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: [1] Ghanimah, [2] Fay’i,  dan [3]Shadaqah atau Zakat (lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa).  Fay’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu [1] Kharaj; [2] ‘Usyr dan; [3] Jizyah. Berikut uraian tentang berbagai jenis pendapatan tersebut. Ghanimah, adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Ghanimah dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. [8]:41, yang turun saat usai perang Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, yaitu 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah SWT, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan Ibnu Sabil. Dari Ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarga beliau, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain. Fay’i adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, oleh karenanya, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fay’i pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Pada awalnya seluruh tanah taklukan pemerintah Islam, dirampas dan dijadikan milik negara. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab berijtihad, tidak lagi merampasnya jadi milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut. ‘Ushr adalah bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat.Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala adalah Pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS.[9]:29. Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaan Zakat Mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Demikianlah sumber-sumber pendapatan negara yang utama dalam Sistem ekonomi Islam. Disamping pendapatan utama (primer) ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh tidak tetap, yaitu:ghululkaffaratluqathahwaqaf, uang tebusan, khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain. Dengan Sistem Ekonomi Islam seperti demikian, negara mengalami surplus dan kejayaan, antara lain dizaman Khalifah Umar bin Khattab  (634-644 M), Umar bin Abdul Aziz(717-720 M) dan sebagai puncak keemasan dinasti Abbasiyah adalah tatkala dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid(786-803 M).
Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam
Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Mengapa Pajak (Dharibah) ini muncul? Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak, yaitu: [1] Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah). [2] Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk  kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi, mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad SAW. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup. [3] Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak. [4].Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhanrakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah). Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan, yaitu Utang atau Pajak. Utang mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang.  Inilah alasan-alasan yang memunculkan ijtihad baru dikalangan fuqaha, berupa Pajak (Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27, hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789). Sungguhpun Pajak (Dharibah) diperbolehkan oleh ulama, namun ia harus tetap dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam. Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi artinya,”Laa yadkhulul jannah shahibul maks”, yang artinya Tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim), (HR. Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no. 1668). Petugas pajak yang dzalim adalah yang memungut pajak  di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Layaknya seperti preman yang meminta uang palak kepada pedagang-pedagang  pasar. Petugas pajak yang yang memungut uang tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul maks” atau petugas pajak yang dzalim. Sedangkan Pajak (Dharibah) yang dibuat oleh pemerintah (Ulil amri) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dengan berpedoman kepada Syari’at Islam dibolehkan dengan dasar ijtihad.
Kesimpulan
Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara  berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang  telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Zakat saat ini memang baru dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik (insya Allah akan terbit) dimasa mendatang yaitu dijadikan sebagai pengurang pajak terutang (credit tax). 


Sardana

Sumber:
http://www.pajak.go.id/content/article/pajak-menurut-syariah

Jumat, 11 Desember 2015

Mengapa Do'a Tak Terkabul

Mungkin ada di antara kita yang merasa sudah lama berdo'a, tetapi apa yang diinginkannya belum dikabulkan oleh Allah swt. Padahal Allah swt telah berjanji akan mengabulkan do' a hambanya.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ 

Artinya:
dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [1] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".
(QS. Al-Mu'min: 60) 

Penjelasan ayat:
[1] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Lantas mengapa ada do'a yang tidak terkabul?


Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat berkaca pada salah seorang ahli ibadah yang bertakwa dan bersih hatinya. Beliau adalah Ibrahim bin Adham.


Pada suatu ketika, sekelompok orang berkumpul di Pasar Basrah dan mereka berkata,
"Wahai Abu Ishaq (sebutan Ibrahim bin Adham), sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an, 'Niscaya akan Aku perkenankan (Aku kabulkan doa) bagimu', dan kita telah berdoa kepada-Nya setiap malam. Akan tetapi mengapa doa kita tidak dikabulkan?"

Ibrahim bin Adham memberikan sebuah jawaban yang sangat bermanfaat buat kita semua, fadhilahnya sampai jaman modern ini.
Bahkan, jawaban beliau berguna untuk kita semuanya yang masih mempermasalhkan doa tak mustajab hingga saat ini.

Ibrahim bin Adham menjawab,
"Karena hati kalian telah mati."
"Apa yang menyebabkan hati kami mati?" tanya warga di pasar.
"Ada sepuluh perkara," jawab Ibrahim bin Adham.

"Apa sepuluh perkara itu?" tanya mereka.


Ibrahim bin Adham menjawab,



  1. Kalian mengenal Allah SWT, tetapi kalian tidak melaksanakan hak-hak-Nya.
  2. Kalian membaca Al Qur'an, tetapi kalian tidak mengamalkannya.
  3. Kalian mengaku cinta kepada Rasulullah SAW, tetapi kalian meninggalkan sunnahnya.
  4. Kalian mengaku bahwa setan adalah musuh kalian, tetapi kalian mengikuti jejaknya.
  5. Kalian mengatakan, "Kami cinta surga", tetapi kalian tidak beramal untuk mendapatkannya.
  6. Kalian mengatakan, "Kami takut api neraka", tetapi kalian mengorbankan diri untuknya.
  7. Kalian mengatakan, "Sesungguhnya kematian itu benar", tetapi kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu.
  8. Kalian sibuk dengan membicarakan aib saudara-saudara kalian, tetapi kalian lupa dengan aib sendiri.
  9. Kalian telah menikmati nikmat Tuhan kalian, tetapi kalian tidak mensyukurinya.
  10. Kalian turut memakamkan jenazah ke liang lahat, tetapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.

Kemudian Ibrahim bin Adham ditanya oleh salah seorang dari mereka.
Orang itu berkata,
"Bagaimana kalau kami meminta engkau untuk berdoa?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Boleh."

Lalu beliau kembali berkata kepadanya,
"Dan engkau, makanlah makanan yang halal, setelah itu berdoalah sekehendakmu."


Ke sepuluh penyebab hati mati rasa inilah yang jadi pemicu kenapa doa seorang hamba tidak dikabulkan.

Sungguh suatu ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat manusia, apa yang disampaikan oleh Imam Ibrahim bin Adham tersebut.



Sardana 


Sumber:  
http://uswahislam.blogspot.co.id/2013/05/10-perkara-penyebab-hati-mati-rasa.html?m=1

Rabu, 09 Desember 2015

Money Politik, Berapa Harga Suara Kita?

Saat dilakukan pemilihan umum dalam berbagai level di Indonesia, kata tersebut begitu dikenal. Banyak para pihak yang membicarakannya, mulai dari penyelenggara, pengawas resmi, pengawas independen, pemerhati, pengamat politik, bahkan sampai para pasangan calon dan tim suksesnya berbicara tentang itu.
Bukan saja saat pemilihan presiden, pemilu legislatif, pemilu kepala daerah, bahkan pemilu kepala desa sekalipun, kata tersebut ramai diobrolkan.
Itulah "money politik" atau katanya lebih tepat diistilahkan dengan "vote buying" atau "politik uang".

Menurut wikipedia.org, politik uang atau politik perut adalah suatu pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supata ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saar pemilihan umum. Pembelua bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.

Menurut peraturan perundang-undangan, politik uang ini termasuk dalam kategori tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara paling lama tiga tahun (sesuai Pasal 73 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999.

Secara pelaksanaan good governance, politik uang ini dapat mengotori jalannya pemerintahan. Misalnya seorang kepala daerah terpilih karena politik uang, maka besar kemungkinan akan berusaha mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkannya, termasuk untuk politik uangnya.
Seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengingatkan masyarakat akan bahaya politik uang ini. Katanya, "Hanya dengan semisal uang Rp250 ribu yanf diterima tapi nantinya bisa menghambat laju pembangunan di daerahnya karena kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi ke depannya.

Berapa sih harga diri dan harga suara bila ditukar dengan politik uang?

Misalkan, seorang pemilih bersedia dibayar Rp100.000,- untuk memilih seorang calon untuk menjadi kepala daerah dan wakilnya.

Yuk kita hitung....
Rp100.000,- : 5 tahun = Rp20.000,-
1 tahun (Rp20.000,-) : 12 bulan = Rp1.666,-
1 bulan (Rp1.666,-) : 30 hari = Rp55,5

Jadi harga diri dan harga suara kita = Rp55,5 per hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet.

Masih tergoda ama si "money politik" ?




Sardana

Selasa, 08 Desember 2015

Pilkada Serentak, Akankah Golput?

9 Desember 2015 akan menjadi salah satu peristiwa penting di republik ini. Tanggal tersebut merupakan saat pertama kali Indonesia melaksanakan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Seluruh warga yang mempunyai hak pilih di sejumlah propinsi, kabupaten, dan kota secara serentak memilih calon kepala daerah mereka untuk periode 5 tahun mendatang. Hari yang sangat menentukan pemimpin dan kepemimpinan di daerah untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Hari yang akan menjadi awal pewarnaan daerah selama 5 tahun berikutnya. 

Pemimpin dan kepemimpinan merupakan persoalan keseharian dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berusaha, berbangsa dan bernegara. Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan negara antara lain dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah teori tentang pemimpin dan kepemimpinanpun bermunculan dan kian berkembang.

Pemimpin publik adalah faktor penting dalam kehidupan di suatu wilayah. Jika pemimpin wilayah itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara. 

Rangkaian pelaksanaan pilkada serentak telah bergulir. Nama-nama para calon kepala daerah beserta nomor urut pun telah ada. Mereka para calon juga telah menyampaikan visi dan misinya pada saat kegiatan kampanye.

Kini saatnya para pemilih yang menentukan siapa di antara mereka yang dipercaya untuk memimpin wilayahnya. Apapun yang terjadi, hasil 9 Desember 2015 akan melahirkan pemimpin baru. Memang bukan perkara mudah untuk menentukan pilihan dari calon yang ada. Begitu sulitnya untuk mendapatkan sosok ideal pemimpin yang sempurna. Belum lagi pengalaman lama yang terkadang sering mengecewakan. Istilah anak muda, PHP, pemberi harapan palsu. Janji adalah janji, kenyataan adalah kenyataan, janji tidaklah sama dengan kenyataan.

Itulah sekat-sekat yang bisa menggoda calon pemilih untuk tidak ikut memilih, alias golput. Khawatir kalau hasil pilihannya akan mengecewakan dirinya dan orang lain. Maka agar tidak disalahkan atau merasa bersalah, golput jadi pilihannya. Gimana ya... Ya sah-sah aja sih, kan itu hak masing-masing.

Namun perlu dipahami, hakikat dan kenyataan golput adalah menyetujui, mendukung, atau setidaknya membiarkan siapapun pemenang pilkada. Kita saksikan, sekalipun partisipasi masyarakat dalam pilkada sangat rendah, namun walikota, bupati, gubernur terpilih bersama wakilnya tetap dilantik menduduki jabatannya, sepanjang tidak ada sengketa. Karena pemimpin itu suatu keniscayaan, harus ada pada setiap kelompok masyarakat. Marilah kita berkorban untuk mencari tahu tentang profil, track record, dan sepak terjang para calon yang ada. Kemudian pilih yang banyak memiliki kebaikan di antara mereka. Kalaupun sulit menemukan kebaikannya, pilihlah yang paling sedikit memiliki kejelekannya. Sebab apapun, satu pasang di antara para calon itu akan menjadi pemimpin kita.

Akankah kita golput ?

Sardana

Minggu, 06 Desember 2015

Quitter, Camper, atau Climber ?


Siapakah kita ?

Berdasarkan Adversity Quotient nya terdapat tiga tipe manusia dalam menyikapi perjalanan hidupnya.

Seorang Quitter
 yaitu seorang yang memilih menjalani kehidupan ini dengan datar-datar saja. Tidak ada gairah, tidak berani mencoba, menyerah sebelum malakukan, sibuk dengan kayalan-kayalan tentang sebuah kesuksesan. Menunggu adanya hujan emas dari langit. Sering murung, frustasi, kecewa terhadap perjalanan hidupnya.
Ciri pemilik sifat quitter adalah:

  • Memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhent
  • Menolak kesempatan yang diberikan lingkungan.
  • Murung, sinis, dan mudah menyalahkan orang lain serta membenci orang-orang yang lebih maju dan berkembang.
  • Sering menggunakan kata-kata yang membatasi diri seperti “tidak dapat”, “tidak mau”, “mustahil”, “tidak mungkin”, “saya tidak mau” dsb.


Seorang Camper
 adalah Seseorang yang merasa puas dengan apa yang sudah dihasilkan. Merasa nyaman dengan kondisi sekarang, merasa cukup dengan apa yang sudah dicapai. Hal ini menyebabkan berhentinya pengembangan diri dan prestasi yang dia torehkan selama ini.
Ciri-ciri seorang camper antara lain:

  • Cukup senang dengan sesuatu yang telah diusahakannya.
  • Melepaskan kesempatan untuk maju yang sebenarnya masih dapat dicapai.
  • Tidak mau mencari peluang dan lebih merasa puas dengan apa yg sudah diperoleh.
  • Lebih menyukai hal-hal yang tidak beresiko tinggi.
  • Karena bosan, mereka menghindari cobaan.
  • Biasa menggunakan kata-kata: ini cukup bagus, kita hanya perlu sampai di sini, dsb. 


Seorang Climber 
adalah selalu ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik, mempunyai orientasi yang besar. Tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki sekarang. Senantiasa belajar dan belajar, bekerja dan bekerja dan selalu ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik dalam menjalani kehidupannya. 
Ciri karakter seorang Climber adalah:
  • Pemikir yang selalu memikirkan “peluang… peluang”
  • Selalu siap menghadapi tantangan.
  • Percaya diri.
  • Memahami tujuan hidupnya.
  • Mereka tidak menyesali ketidakberhasilan.
  • Mereka pembelajar seumur hidup.
  • Dapat diandalkan untuk membuat suatu perubahan.
  • Biasa menggunakan kata-kata: “selalu ada jalan”, “ayo..kita kerjakan”, “sekarang saatnya untuk bertindak”.

Itulah tipe-tipe kepribadian berdasarkan tingkat Adversity Quotient. Sekarang tinggal dari kita, yang ingin menjadi kepribadian seperti apa. Akankah menjadi Quitter yang selalu putus asa dan tifak mau berjuang, akankah hanya menjadi Camper, yang cukup merasa puas dengan telah apa yang telah diraih namun tak mau mengambil resiko yang lebih tinggi, ataukah menjadi seorang Climber yang senantiasa berjuang keras dalam mencapai puncak kesuksesannya?



Sardana

Diambil dari berbagai sumber

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...