Selasa, 31 Mei 2016

Risiko Perpajakan (Bagian 1)


Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak di Indonesia mengalami perubahan. Sejak saat itu Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment system.  Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang yang harus dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini yaitu:
a.    Pajak terutang dihitung sendiri oleh wajib pajak;
b.    Wajib pajak berifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terutang yang seharusnya dibayar;
c.    Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak kecuali oleh kasus-kasus tertentu seperti adanya pemeriksaan pajak, keterlambatan pelaporan atau pembayaran.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem ini sebagaimana dalam Penjelasan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan  yang menyatakan bahwa:
“Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.” 
Sangat berbeda dari masa sebelumnya, mulai saat itu Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung pajaknya sendiri. Keberhasilan sistem ini sangat ditentukan oleh kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Mereka menghitung, memperhitungkan, mambayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Pajak yang disetor oleh Wajib Pajak tersebut dianggap benar, sampai pemerintah dapat membuktikannya salah.
Oleh karena ketentuan perundang-undangan perpajakan yang telah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka dalam peraturan perpajakan juga menyertakan kewenangan yang diberikan kepada ototritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak) untuk melakukan serangkaian tindakan untuk memastikan bahwa wajib pajak teleh melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar. Tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat tindakan yang bersifat administrasif (soft law enforcement) ataupun penegakan hukum pidana (hard law enforcement) kepada wajib pajak. Pada saat Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan kewenangannya, tentu akan memberikan dampak atau resiko bagi wajib pajak.  Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana.

Berikut ini adalah berbagai kewenangan Direktorat Jenderal Pajak sekaligus sebagai bentuk risiko perpajakan yang dapat saja dialami oleh wajib pajak.
1.    Tindak Pidana Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Sedangkan pada sisi lain kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan self assessment system. Namun kepercayaan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan tidaklah selalu berjalan mulus. Namun masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pajak menyebabkan pajak masih dianggap sebagai suatu beban, sehingga seringkali ditemukan wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak sedikit Wajib Pajak sering berupaya untuk menghindari pajak yang dikenakan kepadanya, hal ini tentunya merugikan negara karena negara akan kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak.
Kondisi ini membuat diperlukannya ketegasan terhadap wajib pajak dalam pemungutan pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Adanya kekuatan hukum mengikat dalam bentuk undang-undang menjadikan pajak memiliki sifat dasar dipaksakan yang berarti apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, maka dapat dikenai sanksi pidana terhadapnya. Pengenaan sanksi pidana dikenakan terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Bentuk sanksi pidana dapat berupa:
(a)   denda pidana,
(b)   pidana kurungan, dan
(c)   pidana penjara
Direktorat Jenderal Pajak akan melaksanakan kewenangan untuk tindakan pemidaan pajak ini kepada Wajib Pajak yang dengan nyata-nyata melakukan penggelapan pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selama bulan Maret 2016, pihak pengadilan telah menvonis pelaku pidana pajak antara lain:
·   BANDUNG – Pengadilan Negeri (PN) Bandung memvonis tersangka pengemplang pajak ber inisial RR dua tahun penjara dan denda Rp11, 158 miliar subsider dua bulan kurungan pada sidang yang di gelar Selasa, (08/3). RR merupakan komisaris PT NKC, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha pe nyediaan jasa tenaga kerja berdomisili di Bandung. Fakta persidangan membuktikan, RR dengan sengaja me nyam - pai kan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap selama kurun waktu 2005 hingga 2010. Adapun PT NKC terdaftar sebagai wajib pajak di KPP Pratama Bandung Cibeunying.  Majelis hakim menegaskan, terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan se bagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP) Pasal 39 ayat (1) huruf C junto pasal 43. (Koran SINDO)
·   BANDA ACEH, 10 MARET 2016 - Majelis Hakim PN Meulaboh pada hari Kamis tanggal 10 Maret 2016 menjatuhkan vonis hukuman 2 tahun 3 bulan penjara dikurangi masa tahanan dan denda sebesar Rp 3 Miliar subsider 6 bulan kurungan atas perkara tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh MA. Dalam pembacaan putusan tersebut Majelis Hakim menjelaskan bahwa semua unsur dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah terbukti. MA selaku direktur PT GMP dituntut JPU pidana penjara 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 3 Miliar subsider 1 tahun kurungan karena melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c juncto Pasal 39 Ayat (1) huruf d juncto Pasal 39 Ayat (1) huruf i Undang-UndangNomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Majelis Hakim menjelaskan bahwa hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah tidak mendukung program pemerintah dalam hal penerimaan negara, dimana atas perbuatannya mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp. 1,08 M. (Serambi Indonesia).

2.    Pemeriksaan Pajak
            (bersambung..... bagian 2)











Sumber gambar :
www.acehnews.net

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus

Amnesti Pajak Berakhir, Objek Baru Lahir

Hiruk pikuk pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berlangsung selama periode Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 tel...